ini demi kamu
kini kau pergi...
meninggalkanku dengan sejuta tanda tanya
menggoreskan rasa sakit yang tak ada tandingannya
aku tak mengerti
kenapa?
persoalan yang masih ada di antara kita belum pula selesai
bukan dendam atau semacamnya
aku tak membencimu
hanya ingin bertanya, "kenapa kau meninggalkan aku di saat aku paling membutuhkanmu?"
aku kecewa tapi aku tidak membencimu
perasaanku tetap tidak berubah sejak aku mengenalmu
yang berubah adalah kau
kau tak lagi manis
kau tak lagi ada di sampingku
kau tak lagi mendengar tawaku
kau tak lagi membendung keluhan akan dunia yang tak adil
ini membuatku ingin menangis
tapi saat ku ingat kau pernah berkata "kamu kuat"
aku kembali menahan airmataku
hingga akhirnya kita tak bersama, aku tetap berjuang untukmu
apa kau ingat, dulu ketika kita bersama
aku berjuang untuk hubungan kita
aku membelamu di depan teman-temanku
apa kau lupa akan hal itu?
kini ketika kita melangkah di jalan yang berbeda
aku tetap berjuang untukmu
tak hanya untuk merebut kembali hatimu
juga berjuang agar aku kuat ketika kau lebih memilih wanita itu di bandingkan aku
dan ketika kau bilang "semoga kamu baik-baik saja"
saat itu pula aku akan baik-baik saja
ini demi kamu...
by :camelia athena kharin
Kamis, 12 September 2013
Kamis, 05 September 2013
Naruto dan Hinata fanfic - time machine
Naruto dan Hinata fanfic.. OK met baca !!
...................................................................................................................................................................
...................................................................................................................................................................
“aku tidak apa-apa, Hinata”, kata pria itu disela-sela nafas
lemasnya.
“na-Naruto… kenapa kau lakukan ini?!”, Hinata tak dapat
menahan tangisnya. Semakin lama teriakannya semakin keras. Ini salahnya… andai
saja Naruto tidak datang untuk melindunginya. Mungkin… mungkin Naruto…
“Hinata… Hinata aku…”, darah segar keluar dari mulut Naruto
diselingi dengan batuk yang terdengar menyakitkan. “…mencintaimu”, Naruto
menutup matanya perlahan dan tertidur di pelukan Hinata untuk selamanya.
“NARUTOO !!!”
TIME MACHINE
Hinata and Naruto
Fanfiction
Created by : Camelia.Athena.Kharin
Angin kencang di pesisir pantai telah berhasil
melambaikan rambut panjang Hinata. Gadis itu tak dapat menutupi kesedihannya.
Setelah pulang dari misi yang merengut nyawa pria yang paling di kasihi, semangat
hidupnya seakan habis di telan ombak.
Mata sayu gadis itu menatap lurus laut di depannya. Perlahan air matanya
keluar. Mengapa? Mengapa harus Naruto yang pergi? Mengapa tidak ia saja… Hinata
menangis sekencang-kencangnya. Berteriak agar semua beban dalam hatinya keluar.
Berharap rasa sakit dalam hatinya pergi bersama dengan ombak. Namun ternyata
itu tidak berhasil, air matanya masih saja mengalir dan dadanya masih terasa
sakit. Kenapa?
“Hinata!” panggil seseorang
“Kiba?”, Hinata berusaha tersenyum sambil menyeka air
matannya.
“lagi apa sendirian disini? Gak takut di culik?”, Kiba
mendekati Hinata lengkap dengan akamaru di sampingnya.
“ti-tidak akan ada yang menculikku disini”, jawab Hinata
pelan.
“hahaha aku hanya bercanda. Eh? Botol itu untuk apa?”,
“ah ini…” Hinata menatap botol yang sejak tadi ia genggam.
“ada tradisi lama… tulis harapanmu di secarik kertas dan masukan kedalam botol
kecil. Bila kau membiarkannya mengalir bersama dengan ombak di laut. Suatu hari
harapanmu akan terkabul”, Hinata tersenyum kecil.
“itu kan cerita untuk anak kecil”
“aku tahu…”, Hinata mengangkat kepalanya dan menatap wajah
temannya itu. “tapi aku tetap berharap ini benar-benar terjadi”, Hinata
tersenyum. Kiba menatap Hinata bingung.
“melihat kau seperti ini aku jadi merasa bersalah, ayo aku
bantu melempar botolnya ke laut!”, Kiba menggulung celananya selutut. Hinata
tersenyum senang, Kiba mau membantunya.
Mereka
berjalan menghampiri perbatasan antara
daratan dan lautan. Masuk kedalam air hingga lutut dan dress pendek yang gadis
itu kenakan basah terkena air laut. Perlahan Hinata melepaskan botol yang ada
di genggamannya dan membiarkan harapan kecilnya mengalir jauh bersama dengan
ombak. Berharap tradisi lama itu benar-benar ada dan harapannya bisa terkabul.
Sepercik harapan untuk pria yang ia cintai. Harapan untuk Naruto…
‘mengalir lah jauh
botol kecil’
‘bersama dengan surat
berisikan harapan’
‘di sisi lain
cakrawala’
Air mata gadis itu kembali mengalir untuk Naruto.
Malam
cerah tak berawan menghiasi langit kala itu. Angin hangat menyentuh siapa saja
yang ia lewati. Termasuk pada gadis berambut indigo yang kali ini sedang damai
dalam tidurnya. Hinata tertidur dengan mimpi
yang di penuhi oleh bayangan Naruto. Mimpi bahagia sekaligus menyesakkan
dada mengingat Naruto sudah tidak ada.
“Hinata…”
“engh” Hinata membuka matanya
“Hinata…”, Hinata membuka matanya lebar-lebar mengetahui
siapa yang memanggil namanya.
“Naruto !”, Hinata segera beranjak dari tempat tidurnya dan
menghampiri sosok itu sambil sesekali mengucek matanya, ini bukan mimpi ‘kan?!
Sosok penuh cahaya itu tersenyum penuh arti pada Hinata dan
melangkah pergi. Hinata tidak hanya diam, ia berjalan mengikuti sosok yang ia
yakini bahwa itu Naruto. Semakin lama langkahnya semakin cepat hingga akhirnya
ia berlari menembus malam. Langkah itu berhenti di pinggir pantai.
“na-Naruto?”, panggil Hinata pelan.
“sini… temani aku sebentar”, kata Naruto yang berdiri
sedikit jauh dari Hinata.
Hinata
berjalan pelan menghampiri Naruto. Pandangannya tak berpaling dari Naruto yang
seluruh tubuhnya bermandikan cahaya bulan. Gadis itu menelan sedikit ludahnya
dan mencubit pipinya, sakit! Ini bukan mimpi. Naruto berdiri di pantai tanpa
menggunakan alas kaki dan membiarkan kakinya sedikit basah terkena air laut.
Rambut jabriknya tertiup angin dan mata shappire nya menatap lurus kearah laut.
Badan Hinata bergetar hebat menahan tangis. Dengan cepat Hinata berlari dan
memeluk Naruto. Rindu dalam hatinya sudah tak terbendung lagi. Ia sudah tak
peduli ini nyata atau tidak. Ini mimpi atau kenyataan sudah bukan masalah lagi
untuknya. Ia hanya ingin merasakan hangat tubuh Naruto sekali lagi. Sebentar
saja…
“na-Naruto… aku merindukanmu”, kata Hinata diselingi tangis.
Naruto tak menjawab apapun, pria itu memeluk Hinata hangat
dengan senyum yang tak dapat di artikan dengan kata-kata. Hinata melepaskan
pelukannya dan menyeka air matanya. Menatap pria itu lembut seraya tangan halusnya
mengusap pipi Naruto.
Tiba-tiba
muncul cahaya terang dari laut, membentuk sebuah lingkaran besar yang semakin
lama semakin mendekat pada Hinata. Mata Hinata seperti terhipnotis dan secara
perlahan masuk ke dalam lingkaran itu. Sesekali Hinata menatap Naruto yang ikut
masuk ke dalamnya.
Hinata tak berani mengucapkan apapun. Pandangannya kini
berubah menjadi cahaya putih. Semakin lama semaki terang dan terus terang. Hinata
menutup matanya, ia tak tahan dengan silau dari cahaya tersebut. Dan ketika ia
membuka matanya… cahaya bulan berganti dengan terik matahari. Sosok Naruto yang
menemani Hinata semakin lama semakin memudar dan secara perlahan menghilang.
Ini hari sebelum Naruto dan Hinata pergi untuk misi itu…
.
Hinata’s POV
.
Aku benar-benar kembali ke masa lalu. Aku ingat betul hari
ini… ini hari sebelum kami pergi untuk misi itu. Kalau bisa aku tidak ingin
pergi untuk misi itu, tapi Naruto ia pasti akan tetap pergi. Apa yang harus
kulakukan?
“Hinata!”, suara yang memanggil namaku itu sudah tak asing
lagi di telingaku. Aku menoleh kebelakang
“Kiba? A-ada apa?”
“Aku mencari mu kemana-mana, kau dan Naruto di panggil ke
ruang Hokage”
“ba-baik”
Aku tahu hal ini pasti
akan terjadi. Kami berdua di panggil ke ruang Hokage dan lalu pergi
meninggalkan konoha untuk menjalankan misi. Dan setelah misi itu selesai, hanya
tinggal aku sendiri yang kembali ke konoha. Aku berjalan pelan menuju ruang
Hokage. Pakaianku masih belum berganti sejak kedatanganku kembali ke masalalu.
Aku masih memakai dress selutut yang sedikit kusam karna sebelumnya basah
terkena air laut. Ketika ku buka pintu ruangan orang paling hebat di konoha,
sosok itu kembali memenuhi pandanganku. Naruto sudah ada disana.
“a-anda memanggil saya?”, tanyaku sebelum masuk ke ruangan.
“iya, masuk lah Hinata”,
Mataku
menatap Hokage kelima itu dengan serius tapi ujung mataku sesekali melirik pria
yang ada di sampingku ini. Pria yang sebentar lagi kehilangan nyawanya karnaku.
Aku tak tahan ingin menangis, aku ingin sekali memeluk Naruto sebelum ia pergi
untuk selama-lamanya. Namun apa yang bisa kulakukan? Aku tidak dapat focus
mendengar penjelasan Hokage kelima ini. Aku juga tak perlu juga
mendengarkannya, aku masih ingat apa saja yang dikatakan nona Tsunade.
Setelah keluar dari ruangan Hokage aku dan Naruto berjalan
pelan menyusuri jalan di desa konoha ini. Bodoh…
kenapa aku hanya diam? Katakan sesuatu Hinata!! Teriakku dalam hati. Aku
tahu seberapa kuat aku berteriak dalam hati, tak sedikitpun terdengar oleh Naruto.
“hei Hinata!”, panggil pria itu.
“i-iya?”, aku gugup
“kita ke ichiraku dulu ya sebelum pergi untuk misi!
Tiba-tiba perutku lapar. Hehe”, cengir Naruto.
“umm”, aku mengangguk seraya memberikan sedikit senyuman.
Aku ingat, saat itu Naruto
mengajakku untuk pergi makan ramen di ichiraku. Tapi aku menolak, aku terlalu
gugup untuk makan bersama Naruto. Tapi kali ini, aku tidak akan
menyia-nyiakan waktukku. Aku hanya ingin terus bersama Naruto. Aku berharap
hari ini berlangsung sangat pelan. Tuhan
biarkan aku menikmati saat-saat terakhirku bersama Naruto..
“eh? Aku kira kau akan menok ajakkanku”
“ah itu.. umm..”, aku yakin pipiku memerah. “a-aku ju-ga
lapar, Naruto”
“baiklah kalau begitu! Ayo cepat ke ichiraku!!”, Naruto
meraih tanganku. Dengan cepat ia membawaku berlari menuju tempat makan ramen
kesukaannya.
Aku
menatapnya dari belakang, selalu dari belakang. Aku selalu mengikuti kemanapun
ia melangkah, sejak dulu aku selalu memperhatikannya. Membantunya dari
belakang, meski ia tak pernah tahu itu. Aku begitu menyayanginya. Waktuku tersita
hanya dengan angan tentangnya. Setelah sampai di ichiraku, kami berdua makan
bersama. Sesuatu yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya. Makan bersama Naruto? Ini mimpi kan?
“ah Hinata, tentang misi kali ini…”, Naruto memulai
pembicaraan.
“a-ada apa dengan misinya?”
“sebaiknya kau tidak usah ikut”, Naruto menatapku sendu. Glek… aku menelan ludahku.
“kenapa?”
“misi kali ini, kita harus membuntuti akatsuki. Mungkin
terdengar mudah, tapi ini berbahaya. Aku tak mau kehilanganmu dalam misi ini”
“naru—to?”, kenapa ia mengatakan itu, seharusnya aku yang
berkata seperti itu. Harusnya aku yang mencegah Naruto untuk ikut dalam misi
ini. Dalam misi ini… Naruto yang akan pergi bukan aku. Kenapa Naruto… aku menahan airmataku agar tidak keluar.
“ahh tidak apa-apa” aku tersenyum . “ bukankah ini berbahaya
Naruto? Seharusnya kau yang tidak ikut dalam misi ini”, jangan ikut dalam misi
ini Naruto!
Ia
tidak menjawab kata-kataku. Sisa makan siang kali ini kami habiskan dalam diam.
Aku ingin menangis mengingat beberapa jam lagi kami akan berangkat untuk misi.
Aku pulang menuju rumahku dan bersiap-siap untuk berangkat. Aku yakin sekali
kalau Naruto pasti sudah menungguku. Saat
itu aku datang terlambat, tapi Naruto tetap tersenyum padaku dan memaafkanku.
Kali ini, aku tidak mau datang terlambat. Aku yang akan menunggu Naruto.
Aku melewati mesin waktu, sebuah cahaya yang memberikanku
kesempatan untuk bertemu dengan Naruto sekali lagi. Bertemu dengan pria yang
selalu aku cintai, aku harus melindunginya. Aku sudah berdiri di gerbang desa
konoha, lengkap dengan tas berisikan peralatan ninjaku. Beberapa menit kemudian
Naruto datang. Rambut kuning jabriknya melambai searah dengan angin yang
bertiup kearahnya. Mata safirnya membuatku tak bisa berpaling darinya. Ia
berlari kearahku.
“ooi Hinata! Sudah
menunggu lama ya!”, ia melambaikan tangannya.
“ahh ti-tidak naru-to”, aku gugup.
“misi kali ini hanya kita berdua, yang lainnya sedang sibuk,
tidak masalah kan?”, Naruto tersenyum
“ti-tidak”, pipiku memanas.
Kami
berangkat meninggalkan konoha untuk misi. Naruto yang langkahnya lebih cepat
dariku membuatku akan selalu berlari di belakangnya. Kami berlari menyusuri dahan demi dahan di
dalam hutan. Sesuai kata Nona Hokage, kami menemukan akatsuki di tempat yang
sudah di perkirakan sebelumnya. Kami bersembunyi dibalik semak-semak. Sebentar
lagi Naruto akan…
“Naruto…”, kataku pelan.
“ada apa Hinata?”
“masih ada waktu, pulanglah!”, aku mencoba menghentikan Naruto
agar ia segera pulang, pulanglah Naruto! Kalau tidak kau akan…
“kenapa?”, pria itu bingung.
“kau akan mati”, air mataku keluar begitu saja. Ohh tidak!
Kenapa aku menangis?
“Hinata? Kau kenapa?”, Naruto semakin bingung melihatku
seperti ini.
“aku tahu kau tidak akan percaya… tapi kau akan mati dalam
misi ini karna melindungiku. Aku datang menggunakan mesin waktu agar aku bisa
memberitahumu soal ini. Aku mohon… Naruto… pulanglah, aku tidak ingin kau
mati!”, suaraku meninggi, aku menangis sejadi-jadinya. Naruto merangkulku.
“Hinata… bila aku mati untukmu, aku akan tetap senang”, bisik Naruto.
Tubuhku
bergetar hebat ketika kami menyadari ada seseorang yang berdiri di belakang
kami. Ohh tidak… kami ketahuan. Ini
salahku!. Dengan epat Naruto
mengeluarkan jurus andalannya. Begitupun aku. Kami kalah jumlah, tapi aku tidak
akan menyerah. Waktu terasa begitu cepat hingga aku menyadari sesuatu yang
besar datang kearahku. Pedang mlik salah satu anggota akatsuki siap menusuk
dadaku sebelum akhirnya…
“HINATA!!”,
Jleb… crat…
Naruto melindungiku… lagi…
.
Normal POV
.
Hinata berlari kearah Naruto.
Selagi akatsuki berhasil kabur, Hinata aman tuk memeluk tubuh Naruto. Tubuh
kekar yang kini tak berdaya lagi. Kenapa? Seharusnya Hinata yang melindungi Naruto.
Butir-butir air mata kini mulai menghiasi wajah cantiknya.
“Hinata…”, ucap pria itu pelan. Hinata tidak menjawab. Bibir
tipisnya sibuk menahan teriakan yang siap tuk keluar.
“meskipun kau menggunakan mesin waktu dan mencegahku tuk
melindungimu, itu tak ada gunanya. Karna apapun yang akan terjadi, kau tidak
bsa menghentikanku untuk melindungimu. Kau tidak bisa mencegahku untuk mati
karnamu. Karna aku..” suara Naruto semakin melemah, Hinata tahu waktu Naruto
tidak lama lagi. Hinata menangis sejadi-jadinya. Mengapa ia tidak bisa merubah
sesuatu?! Tuhan… tolong aku, teriak Hinata dalam hati.
“aku tidak apa-apa, Hinata”, kata pria itu disela-sela nafas
lemasnya.
“na-Naruto… kenapa kau lakukan ini?!”, Hinata tak dapat
menahan tangisnya. Semakin lama teriakannya semakin keras. Ini salahnya… andai
saja Naruto tidak datang untuk melindunginya. Mungkin… mungkin Naruto…
“Hinata… Hinata aku…”, darah segar keluar dari mulut Naruto
diselingi dengan batuk yang terdengar menyakitkan. “…mencintaimu”, Naruto
menutup matanya perlahan dan tertidur di pelukan Hinata untuk selamanya.
“NARUTOO !!!”
Tiba-tiba
cahaya yang sama datang menghampirinya. Cahaya mesin waktu yang menariknya
masuk kedalam sinar putih. Ia menutup matanya dalam tangis yang mendalam. Tidak
dapat di percaya, ketika ia di beri kesempatan untuk memperbaiki kesalahnnya di
masa lalu, Naruto tetap pergi meninggalkannya. Saat Hinata membuka matanya. Ia
sedang terbaring di pinggir pantai sambil menggenggam botol berisikan
harapannya. Botol yang seharusnya sudah pergi terbawa ombak.
Hinata bagun dan duduk sambil tangannya membuka dan
mengeluarkan isi botol itu. Di bacanya kembali isi harapan yang ia tulis di
secarik kertas yang ia sobek dari buku hariannya.
Tuhan… kenapa kau ambil pria yang paling aku sayang di dunia ini?
Mengapa kau tidak izinkan kami tuk tetap bersama…
Ini salahku!
Naruto bila kau membaca surat ini, aku hanya ingin kau tahu..
Aku nencintaimu.. demi hari-hari yang kulewati selama ini, aku
mencintaimu..
Aku minta maaf! Naruto… aku minta maaf, ini salahku!
Aku berharap aku punya mesin waktu, dengan mesin itu aku akan kembali
kemasa lalu dan bertemu denganmu sekali
lagi.
Tuhan… bila kita berdua terlahir kembali, aku berharap suatu saat kau izinkan kami tuk tetap bersama.
Hinata Hyuuga
.
.
END
Naruto dan Hinata FanFic - Jika Saja…
Naruto dan Hinata FanFic - Jika Saja…
Disclaimer:
Naruto © Masashi Kishimoto
Jika Saja…. © Camelia Athena Kharin
Summary :
Jika saja pagi itu hujan berhenti. Jika saja bus saat itu tiba lebih
awal. Jika saja Ia tak bertemu Naruto bulan kemarin. Mungkin ia takkan mengenal
pria itu. Mungkin ia takkan pernah merasa jatuh cinta pada Naruto. Mungkin ia
kini takkan pernah merasa sakit hati. Jika saja…
Haloo
semua, sekarang thena mau coba bikin FF NaruHina nih. FF ini terinspirasi dari
beberapa komik dan lagu. Banyak flashbacknya sih, dan alurnya agak
membingungkan. Jadi mohon kritiknya ya… OK met Baca^^
Jika saja…
Hari ini
masih seperti biasanya. Hujan deras mengguyur pagi itu. Seperti hari-hari
sebelumnya, walau hujan Hinata masih semangat berangkat sekolah. Langkah kaki
gadis berambut indigo itu tidak cepat, juga tidak terlalu pelan. Tetap santai
walau angin dingin dan percikan hujan bisa saja membuatnya sakit. Sebenarnya Hinata
menggunakan payung. Tapi tetesan ringan hujan yang tertiup angin masih saja menyentuh
tubuhnya. Hinata menghentikan langkahnya di halte bus. Sekali lagi… karena
hujan bus terlambat datang dipagi itu.
“Hinata !”, panggil pria berambut kuning jabrik tepat di
sebelah Hinata.
“Naru… to?”, kata Hinata pelan.
Hinata
menatap Naruto tidak percaya. Tangan kanan Hinata yang memegang gagang payung
kini mulai melonggarkan genggamannya. Payung berwarna lavender itu jatuh
bersama dengan Hinata yang berlari ke arah lain,mencoba menghindari Naruto.
Sesekali mata lavendernya menitikan air mata kepedihan yang selama ini ia tahan
dalam dada. Ia sadar, sebenarnya ini bukan salah Naruto. Tapi tetap saja…
rasanya sakit.
<<FLASHBACK>>
“kau duluan, Hinata”, kata Naruto setelah mereka sampai di
tempat itu. Wajah Hinata yang sejak tadi sudah merah, kini semakin memerah.
“Ti-Tidak mau, K-Kau duluan saja, Naruto”, kata Hinata gugup.
“Wanita duluan”
“ka-kalau begitu, kita katakan secara bersamaan!”
Untuk beberapa detik Naruto terdiam. Memandang Hinata lalu
tersenyum tipis. “baiklah!”, jawab Naruto setuju.
“satu… dua…”, Hinata mulai berhitung
“tiga!! Sekarang !!”, lanjut Naruto semangat.
“Aku menyukai mu Naruto”, kata Hinata lantang
“Aku menyukai Sakura—“, kata Naruto berbarengan dengan Hinata
Mereka berdua terdiam, kaku, dan saling menatap tak percaya…
<<FLASHBACK END>>
“Hinata tunggu !!”, Naruto mencoba mengejar gadis berambut indigo itu
Namun Hinata
tetap tidak peduli dengan panggilan itu. Ia tetap berlari menembus hujan. Gadis
itu sudah tidak peduli lagi dengan pakaiannya yang basah. Ataupun tubuhnya yang
mulai kedinginan. Ia tak peduli lagi dengan orang-orang yang memandangnya aneh.
Ataupun pada Naruto, ia tak mau peduli lagi. Saat ini yang Hinata inginkan
hanya menjauh dari Naruto. Jika saja pagi itu hujan berhenti. Jika saja bus
saat itu tiba lebih awal. Jika saja Ia tak bertemu Naruto bulan kemarin.
Mungkin ia takkan mengenal pria itu. Mungkin ia takkan pernah merasa jatuh
cinta pada Naruto. Mungkin ia kini takkan pernah merasa sakit hati. Jika saja… Hinata
menangis sejadi-jadinya.
Dari
belakang Naruto melihat bahu Hinata yang bergetar hebat. ia langsung tahu kalau
Hinata sedang menangis. Jika saja saat itu ia bisa meneruskan kata-katanya. Naruto
berani bersumpah bahwa ini hanya kesalah pahaman.
<<FLASHBACK>>
Hari masih
saja hujan dipagi itu. Rasanya sangat malas melakukan aktivitas dan lebih baik
tidur kembali. Namun sebagai pelajar yang baik Hinata tetap harus berangkat
sekolah. Setelah menunggu hujan sedikit reda, Hinata segera melangkahkan
kakinya menuju sekolah. Dengan payung berwarna lavender yang melindunginya dari
rintik-rintik hujan. Hinata menunggu bus yang biasa membawanya menuju sekolah
di halte yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumah Hinata. Tidak seperti
halte bus pada umumnya, halte ini tidak di fasilitasi atap. Jadi para calon
penumpang bus termasuk Hinata tetap harus menggunakan payung pada saat menunggu
bus.
“ano… maaf”, kata seorang pria seraya menepuk pundak Hinata.
“i-iya?”, jawab Hinata
“boleh berbagi payung tidak? Aku lupa membawa payung”, kata
pria itu sambil nyengir dan berharap Hinata mau berbagi payung dengannya.
“eh i-iya…”, Hinata bergeser sedikit agar pria itu bisa
sepayung dengannya.
Hinata tahu
kalau ini adalah kesalahan yang fatal. Membiarkan pria yang tidak ia kenals epayung
dengannya dan orang-orang akan memandang mereka seperti sepasang kekasih.
Pertama minta sepayung, lalu entar minta apalagi? Check in di hotel? Huaaa
>o<”” (imajinasi terlalu tinggi). Tentu saja pria itu takkan melakukan
hal serendah itu. Ia hanya ingin minta sepayung, itu saja.
“namaku uzumaki Naruto !”,kata pria itu sambil tersenyum
ramah dan sedikit mengibaskan rambut kuning jabriknya yang basah. Hinata
sedikit menelan ludah, tampan… “kau?” lanjut Naruto.
“a-aku h-hyuuga Hinata”, Hinata malah gugup
“ah ! itu busnya sudah datang ! ayo Hinata”, ajak Naruto
sambil meraih tangan Hinata.
Hinata
merasa pipinya memanas saat itu juga. Ia yakin, pasti rona merah menghiasi
pipinya bak kepiting rebus. Apa-apaan pria ini? Seenaknya meraih tangan Hinata.
Tapi bukan Hinata namanya kalau gadis itu berani menegur Naruto secara
langsung. Mereka berdua memasuki bus. dan Naruto belum juga melepaskan tangan Hinata.
Entah sengaja atau lupa. Tapi Naruto sepertinya tidak sadar kalau ia masih
menggenggam tangan Hinata.
“ekhem…” singung Hinata
“eh? Ada apa?”, Naruto menoleh pada Hinata.
“a-ano… ta-tanganmu—“. Kata Hinata menunduk dan melihat tangan mereka yang masih bergandengan.
“a-ano… ta-tanganmu—“. Kata Hinata menunduk dan melihat tangan mereka yang masih bergandengan.
“Hoaa… ma-maaf, aku lupa!”, Naruto melepaskan genggamannya.
Keadaan bus
saat itu sangat penuh. Hinata duduk di salah satu kursi yang di pilihkan Naruto,
sedangkan Naruto berdiri di depan Hinata. Sedikit-sedikit Hinata mencuri-curi
pandang pada pria yang berdiri dihadapannya itu. Mata biru sapphire milik Naruto
telah berhasil mencuri perhatian Hinata. Sulit untuk mengakuinya, tapi Naruto
memang cukup tampan. Tubuhnya tinggi dengan dada yang bidang di lapisi kulit
berwarna tan. Naruto juga ramah dan kelihatannya mudah bergaul. Hinata
memperhatikan pakaian yang dikenakan Naruto. Itu kan seragam sekolahnya !.
artinya ia dan Naruto satu sekolah. Mengapa Hinata tidak pernah melihat Naruto?
“ada apa?”, tanya Naruto tiba-tiba, pria itu telah berhasil membuat Hinata kaget
sekaligus blushing hebat.
“ti-tidak”, jawab Hinata lalu menunduk.
“kamu sekolah di Konoha High School juga ya?” tanya Naruto
so’akrab.
“i-iya, kau juga kan?”
“aku baru pindah”
“ohh, masuk kelas apa?”
“kalau jodoh, pasti kita bertemu lagi di kelas yang sama.
Maka dari itu aku tidak akan memberitahumu”, jawab Naruto santai.
“jodoh?” tanya Hinata pelan, perlahan Hinata mulai blushing
kembali. Naruto hanya tersenyum sambil memandang gadis yang duduk di hadapannya
itu. Jujur saja… sejak awal Naruto sudah tertarik pada Hinata.
Selama
perjalanan menuju sekolah tak pernah setegang ini bagi Hinata. Bersama Naruto ia
merasa dadanya berdebar-debar, terlebih lagi saat Naruto membicarakan soal
‘jodoh’. Ini bukan obrolan yang biasa bagi Hinata. Bukannya Hinata polos soal
cinta, tapi haruskah di saat yang seperti ini? Bus menghentikan lajunya di
halte depan sekolah Hinata, ini waktu yang tepat untuk lepas dari Naruto.
kebetulan saat itu hujan sudah berhenti, Hinata jadi bisa langsung lari menuju
sekolah. Meninggalkan Naruto yang menatapnya bingung. Ah tapi ya sudahlah
Hinata
sampai di kelas dengan nafas yang terengah-engah. Berlari bukan bagian dari
aktivitas sehari-harinya. Badannya tidak biasa diajak berlari dan sekarang Hinata
merasa sangat lemas. Sambil berjalan pelan menuju bangkunya, Hinata masih
bertanya dalam hati. mengapa ia harus berlari sih? Mengapa ia menghindar dari Naruto?
Banyak sekali hal yang terjadi pagi ini.
“hei Hinata, kau kenal pria itu? Sepertinya pria itu terus
memandang ke arahmu”, Tanya Sakura, teman sebangku Hinata.
“pria apa?”, Tanya Hinata balik, gadis itu belum connect
“murid baru itu!”
“ada murid baru ya? Dimana?”, Tanya Hinata sambil celingukan
mencari pria yang Sakura maksud.
“yang masih berdiri di depan bersama Shikamaru”, jawab Sakura.
Hinata memusatkan pandangannya ke depan. Memandang pria yang berdiri disana
bersama ketua murid. Mata lavendernya membesar tatkala ia tahu siapa pria itu.
Wajahnya memucat sekaligus memerah. “kau kenal Hinata?” Tanya Sakura lagi.
“Naru…to?”, kata Hinata pelan.
.
“kalau
jodoh, pasti kita bertemu lagi di kelas yang sama. Maka dari itu aku tidak akan
memberitahumu”, jawab Naruto santai.
“jodoh?”
tanya Hinata pelan…
.
.
Hinata merasa badannya kini semakin melemas. Ia tidak percaya
kalau Naruto sekelas dengannya. Dari lima belas kelas di konoha high school,
kenapa harus kelas Hinata yang Naruto pilih? Jodoh? Apa artinya Hinata berjodoh
dengan Naruto? Ahh mustahil, mungkin Naruto tadi hanya menggodanya.
“Hinata? Kau kenapa?”, Tanya Sakura khawatir.
“ahh… ti-tidak apa-apa”, jawab Hinata.
Hinata tetap
bersikap biasa saja, seolah tak pernah terjadi apa-apa. Mencoba untuk sebentar
saja melupakan kehadiran Naruto, walau sebenarnnya itu percuma. Naruto duduk di
kursi tepat di depannya sebelah Shikamaru si ketua kelas. Bagaimana mungkin Hinata
melupakan keberadaan seseorang yang duduk tepat di depannya. Untuk kesekian kalinya,
Hinata menghela nafas. Benar-benar hari yang melelahkan. Setelah sekian lama di
tunggu. Akhirnya bel istirahat pun berbunyi. Hinata merasa ia butuh asupan dan
tak ada alasan untuk tidak ke kantin dan makan disana. Hinata membereskan
buku-buku pelajarannya agar bisa segera pergi ke kantin. Tanpa Hinata sadari, Naruto
sudah membalikan kursi tempat duduknya hingga kini mereka berhadapan.
“hey”, kata Naruto. Untuk ke sekian kalinya di hari ini, Hinata
di buat tegang oleh Naruto.
“i-iya?”, kata Hinata.
“tak perlu setegang itu”, Naruto tersenyum, bukannya menjadi
santai. Hinata malah semakin tegang.
“a-apa maumu?”
“aku hanya mau bilang, ternyata kita benar-benar berjodoh
ya”, senyum Naruto semakin melebar.
“ha-hanya kebetulan saja!”, kata Hinata agak keras dan
langsung pergi menyusul Sakura ke kantin.
Naruto tidak membalas kata-kata gadis itu. Namun mata
sapphirenya tetap tidak bisa melepaskan pandangannya dari Hinata. Gadis yang
dianggapnya lucu itu memang baru ia kenal, tapi rasa ketertarikannya sudah sangat
besar. Naruto segera berjalan keluar kelas, bukan Hinata saja yang butuh asupan
makanan tapi ia juga.
Hinata duduk
di salah satu kursi di kantin bersama Sakura. Sup kentang dan dagingnya sama
sekali belum Hinata makan. Gadis itu hanya mengaduk-ngaduk sup itu sambil
melamun. Mata lavendernya menatap lurus supnya. Ia masih memikirkan Naruto. Ia
sendiri tidak tahu mengapa ia bisa memikirkan pria itu setiap waktu. Apa itu
artinya Hinata mulai ada rasa pada Naruto? Tapi mereka baru saja kenal. Tadi Hinata
sudah menceritakan semuanya kepada Sakura. Dan Sakura sekarang hanya menatap Hinata
maklum, ia paham betul perasaan sahabatnya itu.
“makan Hinata”, suruh Sakura
“i-iya”, jawab Hinata. Hinata mulai memakan supnya.
“supnya enak tidak?”
“lumayan enak bagi perut yang lapar”, jawab Hinata
“ahh kalau begitu seharusnya tadi aku beli juga supnya”,
sesal Sakura. Hinata tersenyum.
“ano… boleh aku duduk bersama kalian?”, seseorang tiba-tiba
datang dan menyela obrolan mereka.
“Naruto?”, kata Hinata sambil menatap Naruto tidak percaya. Kenapa harus kesini sih?
“ohh Naruto ya? Mari silahkan duduk bersama kami”, kata Sakura
ramah.
“ahh arigatou”, Naruto tersenyum lebar pada Sakura dan Hinata.
Sakura membalasnya dengan senyuman ramah sedangkan Hinata memalingkan
pandangannya. Naruto mengambil tempat di sebelah Hinata.
“hoa! Menu makanan kalian sama!!”, kata Sakura kaget.
“eh?” Hinata memandang menu makanannya dan menu makanan milik
Naruto. Dari sekian banyak menu di kantin, kenapa menu makanannya harus sama
dengan milik Naruto sih?
“wah benar, menu makananku sama dengan milik Hinata-chan.
Benar-benar berjodoh ya?”, kata Naruto riang dan tanpa beban.
“ke-kebetulan saja”, jawab Hinata sedikit gugup.
Sakura hanya
cekikikan, sedangkan Naruto tersenyum lebar. Hinata? Ya gadis itu hanya diam dengan hati yang
berdebar-debar. Tidak seperti Sakura dan Naruto, diantara mereka Hinata lah
yang paling tegang. Tapi Hinata tetap bersikap biasa saja seolah hatinya tenang
padahal keadaannya saat ini sangat tidak karuan. Tidak lama kemudian, bel
pertanda masuk sudah berbunyi kembali. Akhirnya Hinata bisa terbebas dari
ketegangan ini.
Hinata
kembali masuk ke kelas, dan langsung duduk di bangkunya. Tapi ia tidak melihat Naruto
di bangku depannya. Kata Sakura Naruto di panggil wali kelas untuk mengurus
administrasi. Ya… setidaknya Hinata kini bisa belajar dengan focus. Awalnya sih begitu, sebelum
akhirnya Hinata merasa kehilangan sosok Naruto. Padahal hari-hari sebelumnya Naruto
juga tidak ada di bangku depannya. Mengapa ia harus merasa kehilangan? Setelah
lama berfikir dan merenung akhirnya Hinata sadar. Ia sangat tertarik pada Naruto.
Hey tunggu… tertarik bukan berarti suka’kan?
Bel pertanda
pulang sudah berbunyi 5 menit yang lalu. Sakura ada kegiatan ekskul dan
mengharuskan gadis berambut pink itu pulang agak telat. Untuk hari ini Hinata
harus pulang sendirian. Gadis berambut indigo itu berjalan pelan menuju gerbang
sekolah. Langit kehilangan cahayanya. Bukannya hari sudah sore, tapi sepertinya
hujan sebentar lagi akan turun. Pikiran Hinata masih dipenuhi oleh Naruto.
Kehadiran pria berambut jabrik itu sangat mengusik otaknya. Pria yang sifatnya
sangat bertolak belakang dengan Hinata, benar-benar telah berhasil membuat Hinata
melamun di sepanjang jalan. Perlahan Hinata menyebrangi jalan menuju halte bus.
“Hinata awas !!”, pekik seseorang di belakang Hinata. Spontan
Hinata menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang.
“Naruto?”, Tanya Hinata pelan.
Disaat yang bersamaan sebuah mobil melaju kencang dan hendak
menabrak Hinata. Dengan cepat Naruto mengejar Hinata dan menarik tangan Hinata
ke pinggir. Pria itu langsung merengkuh badan kecil nan langsing milik Hinata
agar dapat memastikan gadis itu baik-baik saja. Hinata hanya memandang Naruto
terpesona sekaligus shock, kejadiannya sangat cepat. Naruto melepaskan
rengkuhan perlahan dan tersenyum pada Hinata.
“kau tidak apa-apa kan?”, Tanya Naruto sambil tersenyum
sekaligus khawatir.
“ti-tidak”, jawab Hinata gugup.
“syukurlah”, kata Naruto lega.
“ke-kenapa kau tadi bisa ada da-dan menolongku??”, kini
giliran Hinata yang bertanya.
“kebetulan saja ko”, jawab Naruto dengan senyuman manis dan
langsung pergi meninggalkan Hinata.
“kebetulan?”
Hinata masih
terpaku di tepatnya berdiri. Memandang Naruto hingga sosoknya menghilang di
perempatan di ujung jalan itu. Kebetulan
katanya? Kebetulan? Dia membalikkan kata-kata ku ya? Tanya Hinata dalam
hati. Bingung sekaligus tersipu. Naruto adalah penyelamat jiwanya hari ini.
Setidaknya ia harus mengucapkan terima kasih. Hinata segera berlari menuju
perempatan di ujung jalan dan berusaha mencari sosok Naruto. Untunglah, Hinata
bisa menemukan Naruto. Pria itu sedang duduk di kursi taman kota dan memejamkan
matanya. Hinata tersenyum tipis dan melangkah pelan menuju keberadaan Naruto. Naruto
yang merasakan kehadiran Hinata segera membuka matanya dan menyunggingkan
sebuah senyuman.
“Naruto?”, kata Hinata
“aku tau kau pasti akan menyusulku, maka dari itu aku sengaja
menunggumu disini”, jawab Naruto, masih dengan senyuman.
“a-arigatou g-gozaimasu”, pipi Hinata melukiskan guratan
merah di pipinya, a-ada apa denganku?
“ahh tak perlu seperti itu, oiya! Kau mau duduk disini?”, Naruto
mengangkat halisnya. Hinata membalasnya dengan senyuman dan segera duduk di
sebelah Naruto. Gadis itu menundukan kepalanya, bingung harus melakukan apa dan
mengatakan apa. Naruto yang mengerti dengan keadaan seperti ini segera memulai
pembicaraan.
“eh, kau tau tidak, kita sudah sering sekali kebetulan ya?”,
kata Naruto.
“maksunya?”, Hinata tidak mengerti.
“kebetulan… pertama, kita satu kelas. Bukannya menurutmu itu
kebetulan? Kebetulan yang kedua, menu makanan kita sama. Dan yang terakhir
tadi, aku menyelamatkanmu”, kata Naruto sambil menatap langit yang tidak biru
dengan mata menerawang.
“kau tau kan kalau itu hanya kebetulan”, jawab Hinata datar.
“tapi kamu gak tau satu hal”, mata sapphire milik Naruto
menatap Hinata penuh arti.
“apa itu?”
“tiga kali kebetulan itu namanya takdir lho”, Naruto
tersenyum dalam membuat jantung Hinata sekali lagi berdegup kencang.
Hinata
blushing hebat. Tadi pagi jodoh, sekarang takdir, besok apa lagi? Pernikahan?
Huaaa >.<””. Hinata tidak bisa menjawab kata-kata Naruto, meskipun ada
kata-kata dalam otaknya yang bisa di gunakan untuk menjawab kata-kata Naruto, Hinata
tidak mau mengatakannya. Pasti ia akan sangat tergugup. Kenapa? Ada apa dengan
diri Hinata? Mengapa ia merasakan hal yang sulit di mengerti ini? Jika saja
pagi itu Hinata berangkat lebih awal, mungkin ia takkan bertemu dengan Naruto.
Jika saja ia bisa mengulang kembali waktu…
Sejak hari
itu Hinata berteman akrab dengan Naruto. Dimana ada Naruto, disitu ada Hinata.
Selalu bersama layaknya sepasang kekasih. Mengirim pesan secara bersamaan.
Memikirkan hal yang sama. Dan sejak saat itu pula Hinata menyadari bahwa ia
menyukai Naruto. Cinta pada pandangan pertama. Tapi Hinata tidak berani
mengungkapkannya, ia fikir menahannya dalam hati akan jauh lebih baik. Gadis
berambut indigo itu sudah cukup merasa nyaman dengan keadaan seperti ini.
“kau dan Sakura sudah berteman lama ya?”, tanya Naruto di
perjalanan pulang kepada Hinata yang jalan di sampingnya.
“mengapa kau tiba-tiba menanyakan soal Sakura?”, jawab Hinata
datar tanpa sedikitpun mau melirik pria di sampingnya itu. Ada sedikit rasa
cemburu dalam hatinya.
“ah tidak apa-apa, sebenarnya aku dan Sakura satu SD lho!”, Naruto
tersenyum tipis.
“masa sih?”
“tapi sepertinya dia tidak mengingatku, dulu kami tidak
begitu akrab”
“ohh begitu ya”
“dan dia adalah cinta pertamaku”, kata-kata Naruto mengakhiri
pembicaraan mereka siang itu. Kala matahari tidak bersinar terlalu terang, Hinata
menangis dalam hatinya. Mengapa harus Sakura
yang menjadi cinta pertamamu, Naruto… ku kira aku yang…
<<FLASHBACK END>>
Kenapa?
Kenapa aku harus bertemu dengan Naruto disini? Jika saja bus datang lebih cepat
!
Keluh Hinata
dalam hati. Langkah kakinya masih melangkah cepat tanpa tujuan. Nafasnya kini
mulai kehilangan kesetabilan. Bruuk… Hinata
terjatuh di pinggir jalan. Lututnya sobek dan kakinya sangat sulit tuk di
gerakan. Hinata yang belum berhenti dengan air matanya tadi, kini mengeluarkan
kembali butiran air mata itu. Jalanan yang sepi membuat Hinata terbebas dari
pasang mata yang akan memperhatikannya terduduk di pinggir jalan dan menangis. Hinata
menangis sejadi-jadinya tanpa dapat berdiri dan kembali berjalan. Hujan masih
saja deras membuat kulit gadis berambut indigo itu mulai memucat dan bibirnya
membiru.
“Hinata~ tidak bisakah kau dengarkan aku, sebentar saja!”.
Kakinya yang terluka menyebabkan gadis itu tidak bisa berlari
menghindari Naruto. Jika saja bukan Sakura. Mungkin Hinata tak akan sesakit
ini.
<<FLASH BACK>>
Setelah tadi
siang Naruto bilang bahwa Sakura adalah cinta pertamanya, Hinata tidak bisa
tidur. Ia merasa galau dan sakit sekaligus. Membuat butir-butir air matanya
keluar secara perlahan. Naruto apa kau
tidak sadar bahwa aku yang selalu mencintaimu? Tidak bisa! Hinata harus
ungkapkan perasaannya pada Naruto. Sudah tak bisa tertahan lagi!
Dering handphonenya membuyarkan pikirannya. Naruto
menelfonnya. Kenapa pria itu menelfon Hinata selarut ini? Tidak seperti
biasanya.
“Hinata.. kau sudah tidur?”, ucap pria itu dari ujung telfon
disana.
“belum? Ada apa Naruto?”, jawab Hinata dengan suara yang ia
buat se normal mungkin.
“aku ingin membicarakan sesuatu”, kebetulan!
“bi-bicara saja Naruto”, jawab Hinata gugup.
“tidak bisa disini! Keluarlah, aku sudah menunggumu di depan
rumahmu”
Eh? Depan rumah?. Cepat-cepat Hinata beranjak dari tenpat
tidurnya dan membuka gorden kamarnya. Ia terkejut ketika ia sudah melihat sosok
bermata safir itu sudah berdiri di luar gerbang rumahnya lengkap dengan sepeda
motor. Naruto terlihat begitu—ekhem—keren.
Hinata mengambil jacket berwarna
lavender miliknya dan berjalan cepat keluar rumah. Naruto yang sepertinya sudah
menunggu lama hanya tersenyum dan mempersilahkan Hinata menaiki motornya. Angin
malam di musim hujan bsa saja membuat kedua insane itu sakit. Tapi bukan itu
yang perlu di pikirkan untuk saat ini. Mereka perlu bicara, dan tidak bisa di tahan
lagi. Perasaan ini tak boleh di kubur dalam hati !
“kau duluan, Hinata”, kata Naruto setelah mereka sampai di
tempat itu. Wajah Hinata yang sejak tadi sudah merah, kini semakin memerah.
“Ti-Tidak mau, K-Kau duluan saja, Naruto”, kata Hinata gugup.
“Wanita duluan”
“ka-kalau begitu, kita katakan secara bersamaan!”
Untuk beberapa detik Naruto terdiam. Memandang Hinata lalu
tersenyum tipis. “baiklah!”, jawab Naruto setuju.
“satu… dua…”, Hinata mulai berhitung
“tiga!! Sekarang !!”, lanjut Naruto semangat.
“Aku menyukai mu Naruto”, kata Hinata lantang
“Aku menyukai Sakura—“, kata Naruto berbarengan dengan Hinata
Mereka berdua terdiam, kaku, dan saling menatap tak percaya…
Tubuh Hinata
bergetar hebat, bukan karna angin dingin yang menusuk tubuhnya. Tapi karna ia
tak bisa lagi menahan tangisan. Tak bisa lagi menahan rasa sakit yang mendalam
ketika orang yang ia cintai bilang bahwa ia mencintai sahabatnya. Butir-butir
air mata keluar dari mata cantiknya. Naruto hanya diam masih tak percaya dengan
apa yang Hinata katakan. Pria itu mencoba mendekati Hinata, tapi gadis itu
malah mundur semakin jauh dari Naruto. mata lavendernya sudah tidak bisa lagi
menatap Naruto lebih dekat. Seharusnya ia tahu bahwa ini akan terjadi… mengapa
ia jadi sebodoh ini?
Hinata berlari secepat-cepatnya. Naruto berusaha mengejar
namun usahanya tak berhasil. Naruto berani bersumpah, ini hanya salah paham!
Bukan ini yang Naruto maksud.
“ahh sial!! Seharusnya ini menjadi malam yang bahagia!!”,
gerutu Naruto pada dirinya sendiri.
Sejak saat itu… Hinata tak mau bicara lagi pada Naruto. Hinata
selalu menghindari Naruto kala pria itu berusaha menjelaskan sesuatu yang perlu
ia jelaskan. Hinata menukar posisi duduknya dengan Tenten agar bisa jauh dari Naruto.
Hinata hanya tidak ingin merasa sakit bila di dekat Naruto. saat ini ia hanya
ingin ketenangan untuk mendinginkan pikirannya.
<<FLASHBACK END>>
Jika saja Naruto…
Aruto
membantu Hinata berdiri. Di tengah hujan yang tak kunjung berhenti mereka
berdua saling menatap tanpa berucap dalam beberapa menit. Naruto bingung harus mulai dari mana. Pria itu ingin bilang
kalau ini salah paham, tapi bibinya seakan kaku bersama dengan air hujan yang
mendinginkan segala yang disentuhnya. Beberapa gerlingan air mata masih setia
di sekitar mata Hinata sedangkan yang lainnya hilang tertutupi air hujan.
“kenapa Naruto?”, ucap Hinata pelan.
“aku ngin menjelaskan sesuatu, kumohon dengarkan aku”
“kau menyukai Sakura, itu sudah jelas”
“bukan seperti itu”
“jika saja yang kau suka itu aku Naruto! aku kira kau—kau
selama ini—“, Hinata kembali menangis,
“maka dari itu dengarkan aku dulu!”
.
Naruto menatap Hinata dalam. Mata safirnya tidak bisa
dihindari tatapannya. Hinata membalas tatapan Naruto.
.
Pria itu mengelus pipi Hinata lembut
.
“yang aku suka itu Sakura…”, Naruto menggantung kata-katanya.
.
Tuh kan! Hinata
hendak pergi. Namun tangannya di pegang erat oleh Naruto.
.
“…tapi itu dulu, sekarang yang aku suka itu Hinata! Dan
sampai kapanpun yang aku suka tetap kau Hinata. Jika saja saat itu kau tidak
langsung pergi… mungkin saat ini kita sudah menjadi sepsang kekasih”, Naruto
tersenyum penuh arti.
Hinata
mengubah tangis pedihnya dengan senyum bahagia. Dengan cepat gadis itu memeluk
pria itu sebagai pengganti kata ya.
Naruto hanya tersenyum sambil membalas pelukan Hinata. Dengah hujan yang lebat
sekalipun hangat cinta mereka tetap terasa. Jika saja tak ada kesalah pahaman…
mungkin mereka akan bahagia sejak awal.
-Owari-
Selasa, 13 Agustus 2013
cerpen - berakhirnya sebuah dunia
ini cerpen tentang alam, di baca yaa^^
Berakhirnya Sebuah Dunia
Pada suatu hari ada sebuah dunia yang terbentuk atas
replica bumi. Dunia damai yang pasti semua orang memimpikannya. Dunia yang
sekilas mirip dengan bumi namun memiliki banyak keajaiban. Tanahnya hijau dan
subur. Berbanding terbalik dengan bumi yang kini sangat sulit menemui tanah
sesubur didaerah ini. Pepohonan tidak hanya hijau, namun tersusun oleh berbagai
warna. Tumbuh dengan subur di hampir setiap sudut dunia itu. Lahan pertanian
dan perkebunan masih banyak sekali, tidak heran kalau sayur mayur sangat
berlimpah di dunia itu. Lautannya biru dan jernih, kita tak akan menemui air
keruh di sana. Ikan-ikan sangat beragam dan hampir semuanya dapat di jadikan
makanan. Hamparan pasir pantai menyerupai mutiara yang bersinar kala pantulan
sinar matahari mengenainya, ombaknya tenang dan anginnya sepoi-sepoi. Karang di
pinggir pantainya pun tersusun dengan rapi seperti sudah di takdirkan untuk
menjadi indah. Tak pernah ada badai atau tsunami di samudranya. Tenang dan
damai.
Rata-rata hampir semua daerah di dunia itu memiliki 4
musim yang sama dengan di bumi. Namun tak menutup kemungkinan bila ada beberapa
daerah yang hanya memiliki 2 musim. Bila musim panas, sinar mataharinya dapat
di pakai sebagai sumber energy di dunia itu melalui tabir surya yang sangat
besar. Adakalanya saat musim gugur tanaman yang mati ataupun dedaunan yang
berjatuhan akan di olah sedemikian rupa hingga menjadi pupuk alami dan pakan
bagi hewan ternak. Bila penghujan tiba, airnya dapat menghidupi seluruh tanaman
di dunia itu tanpa sedikitpun meninggalkan bencana. Dan ketika salju turun,
Kristal es yang sangat indah menjadi kepuasan tersendiri bagi siapapun yang
melihatnya. Dan saat tiba musim semi, semua kehidupan dimulai…
Warga yang tinggal di dunia ajaib
ini bukan peri atau penyihir yang seperti kita bayangkan pada awalnya. Mereka
hanya manusia biasa seperti yang ada di bumi. Hanya saja mereka berbeda. Mereka
tahu betul caranya merawat alam di sekitar mereka. Cara mereka memperlakukan
tanaman dan hewan betul-betul sangat baik. Di daerah perkotaan sangatlah maju.
Teknologi mereka sangatlah beragam. Semua Hal yang hanya kita bayangkan dalam
mimpi, ada dan tercipta di dunia ajaib ini. Dari hal kecil seperti sepatu yang
dapat membuat pemakainya berlari cepat hingga sayap buatan yang bisa membuat
manusia terbang. Tapi… sebenarnya semua barang-barang yang kita sebutkan tadi
sudah termasuk barang-barang kuno di daerah itu. Karna saat ini meraka sudah
dapat memaksimalkan kinerja otak hingga kini mereka bisa terbang bagai peri dan
melakukan apapun bak seorang penyihir. Hal itu membuat kota di dunia itu
sangatlah maju. Bukan berarti daerah pedesaannya tertinggal dari kemajuan
teknologi. Daerah yang sangat asri itu dapat menghasilkan hasil pertanian yang
dapat di ekspor sampai ke lain galaksi.
Semua yang hidup
didunia itu sangat makmur dan bahagia. Tak ada yang merasa sedih. Karna semua
orang disana baik dan terbuka. Selalu tersenyum ramah pada siapapun.
Orang-orang disana tidak mengenal penindasan, karna penindasan sangat menyalahi
etika. Tidak ada yang saling mengejek, satu sama lain benar-benar saling
menghargai. Hampir tidak ada kejahatan yang terjadi di daerah ini, damai dan
menyenangkan. Polisi yang pada awalnya bertugas mengamankan daerah ini dari
penjahat kini beralih fungsi menjadi lembaga yang membantu menyelesaikan
masalah warga. Membantu siapa saja yang kebetulan sedang dalam kesulitan.
Tentara hanya sebagai pelengkap adanya suatu Negara, karna hampir setiap waktu
tak pernah ada ancaman bagi setiap Negara di daerah itu. Siapa yang tidak ingin
hidup di dunia seperti ini? Dunia ini bahkan bisa di bilang sempurna.
Beberapa abad kemudian orang-orang
di dunia ajaib itu mulai menyadari ada suatu kesalahan dalam diri mereka. Dunia
yang terbentuk dari setiap mimpi indah kini mulai menjadi mimpi buruk. Dunia
yang serba mudah itu kini menularkan rasa keserakahan. Lahan pertanian yang
sangat amatlah subur sudah mulai di perebutkan. Alhasil… kekayaannya berkurang
drastic karna tidak banyak lagi orang-orang yang menanam sayuran. Mereka sibuk
memperdebatkan lahan pertanian tersebut. Lain halnya dengan lautan. Keindahnnya
yang sangat mempesona telah berhasil membuat orang-orang selalu ingin datang
kesana. Seiring dengan berjalannya waktu, airnya menjadi keruh dan pantainyapun
tak seindah dulu. Ikan-ikan dan berbagai jenis makhluk hidup yang ada pergi
begitu saja, dan bila ada yang tetap bertahan di wilayah laut itu pasti akan
mati. Sudah tak ada batu karang di pinggir pantai, mereka kini di takdirkan
untuk di hancurkan. Karang-karang itu kini berganti menjadi hotel dan
restouran. Laut tenang dan damai kini hanya sebatas kata-kata. Karna sekarang
heningnya pantai di malam hari telah berubah menjadi gemerlap lampu warna-warni
pertanda pesta baru akan di mulai.
Lingkungan yang indah dan asri kini
semakin berubah. Tak ada lagi sinar matahari yang mampu di jadikan energi
kehidupan. Kemarau yang panjang telah membuat kekeringan di sejumlah wilayah
dan merengut korban. Dedaunan yang gugur di biarkan begitu saja, sudah tak ada
lagi yang peduli. Mereka semua sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Bila
musim penghujan tiba tak jarang merendam beberapa rumah warga. Sebagian besar
kehilangan harta, benda dan keluarganya. Berbagai macam penyakit baru tumbuh di
setap insan yang tak berdosa. Merengut nyawa mereka. Dan bila salju turun, tak
ada lagi Kristal indah dari langit. Kini yang biasa orang-orang dunia ajaib itu
lakukan hanya berlindung dan berlari, berharap badai salju tak merengut nyawa
mereka. Waspada sekaligus ketakutan, itulah yang kini mereka rasakan. Dan bila
musim semi datang, tak ada lagi kehidupan…
Mereka memang manusia biasa. Kinerja
otaknya saja yang membedakan mereka dengan kita. Namun seiring dengan
perkembangan zaman yang semakin maju dan
teknologi yang semakin lengkap. Otak mereka sudah jarang di gunakan. Toh semua
yang mereka inginkan sudah ada. Semua hal yang mereka impikan sudah tercipta di
dunia itu. Sudah tak ada lagi yang mereka inginkan. Tak ada lagi semangat tuk
maju, karna memang dunia itu sudah sangatlah maju. Ada kalanya ketika guru sd
mereka bertanya “apa cita-cita kalian?”, tak ada yang mau menjawab. Tak ada
yang ingin jadi polisi karna dianggap sudah tak di butuhkan, tentara hanyalah
sebagai pelengkap suatu Negara. Ingin menjadi peri? Mereka sudah bisa terbang
bak peri. Penyihir di negeri dongeng? Semua hal bisa mereka lakukan bak
penyihir. Sungguh kini dunia itu mulai kacau.
Masing-masing Negara di dunia ajaib
itu mulai menyadari kesalahan mereka. Kini mereka mulai memupuk semangat anak
muda tuk menjadi polisi dan tentara yang terlatih. Namun tujuannya sangatlah
buruk, entah setan apa yang merasuki setiap tubuh manusia di dunia ajaib itu.
Keserakahan dan penindasan kini terjadi dimana-mana. Kata ‘penindasan sangat
menyalahi etika’ benar-benar telah di abaikan. Sudah tak ada lagi yang peduli
dengan nasib orang kecil. Kini yang kuatlah yang berkuasa. Perang terjadi
dimana-mana. Mengakibatkan penderitaan yang tak kunjung sembuh. Semua fasilitas
modern di daerah kota di hancurkan oleh bom dan lahan pertanian di daerah desa
di acuhkan karna orang-orang sibuk menyelamatkan nyawa mereka. Tak ada lagi
dunia yang damai.
Gedung-gedung yang menjulang tinggi
di daerah perkotaan telah hancur. Hampir semua kota kini Nampak tak berpenghuni.
Tak ada yang tahu pasti kemana orang-orang dunia ajaib itu pergi. Di daerah
pedesaannya gersang bak padang pasir. Panas dan tak ada tanda-tanda kehidupan.
Karna perang itu alam menjadi rusak. Perbuatan manusia yang seenak-enaknya
membuat alam marah pada mereka dan Tuhan menatap sinis pada setiap insan yang
membuat dunia ajaib itu rusak. Ombak di pantai meluapkan amarahnya di susul
dengan badai yang tak kalah hebatnya. Dunia itu bergoyang hebat dan menyebabkan
gempa dimana-mana. Gunung-gunung berteriak dengan lava panasnya dan
menghancurkan hampir seluruh daerah di dunia ajaib itu. Tak menunggu waktu
lama, akhirnya dunia itu musnah. Hilang dari peradaban. Padahal pada awalnya
dunia itu bagai mimpi setiap manusia, dan kini berakhir karna ulah manusia itu
sendiri…
Beruntunglah
karna baru replica bumi yang hancur. Kini dapat di bayangkan bagaimana bila
bumi yang benar-benar hancur.
-tamat-
-created by : Camellia Athena Kharin-
cerpen-cerita untukmu
holaa thena kembali datang dengan cerpen terbaru thena.. ini cerpen murni dari mimpiku lho.. met baca
Cerita untukmu
Saat itu
hari sudah gelap. Kita berada disuatu tempat yang sepertinya tak asing bagiku.
Kita tidak benar-benar berdua. Aku bersama teman-temanku dan kau bersama
pacarmu. Kita tidak pernah bertemu sebelumnya, tapi dalam suasana seramai ini
aku langsung tahu bahwa pria yang sedang bersama pacarnya itu kau. Sesuatu yang
tak dapat ku mengerti. Kau melihat ke arahku seperti ingin mengatakan sesuatu.
Ya… kau juga pasti tahu kalau ini aku. Aku memandangmu dari kejauhan sambil
mengirimkanmu pesan singkat melalui handphone. Kau mengeluarkan handphonemu dan
membalas pesan singkatku sambil sesekali mengobrol dengan pacarmu.
Kita
bercerita banyak hal melalui pesan singkat malam itu. Aku tidak sadar kalau kau
sudah ada di sebelahku. Aku duduk di tanah sambil tetap mengirim pesan singkat
untukmu. Dan kau berdiri di sebelahku bersama candaan kecil dengan pacarmu. Ini
tak adil bagiku yang selalu mencintaimu. Tak adil karna hanya kita saling
mengirim pesan singkat tanpa bisa mengobrol secara langsung. Sesekali kuangkat
kepalaku dan kulihat wajahmu, begitupun kau. Detak jantung yang tak karuan kala
kau tersenyum membuatku semakin tak mengerti. Aku dapat mencintaimu walau aku
hanya mengenalmu di dunia maya. Dan ketika pandangan kita bertemu, kau
tersenyum manis. Senyum yang dapat mengobati lukaku ketika kau lebih memilih
wanita itu dibandingkan aku. Sekalipun kau tidak tersenyum untukku, bagiku itu
sudah cukup adil.
Malam cerah
dengan keramaian yang tidak seperti biasanya. Teman-temanku menyalakan beberapa
kembang api yang sangat indah. Namun aku tetap duduk di tanah dan mengirimkanmu
pesan singkat. Sesekali kau tidak membalas pesan singkatku karna kau terlalu
asik dengan pacarmu. Tak masalah bagiku. Dalam keramaian seperti ini aku tak
dapat mendengar apa yang kau bicarakan dengan pacarmu. Tapi dalam suatu suasana
aku dapat menyadari bahwa kalian berhenti mengobrol. Tiba-tiba aku merasakan
sesuatu menyentuh kepalaku. Ternyata itu tanganmu. Kau seakan ingin mengelus
kepalaku. Namun yang kau lakukan hanya mengacak-acak rambutku. Meskipun begitu
aku tetap merasa bahagia, sesuatu yang tak dapat ku mengerti. Aku terus
mengirimkanmu pesan singkat berharap aku bisa tetap mengobrol denganmu. Kau
mengeluarkan tawa kecilmu ketika aku sibuk merapihkan rambutku. Semakin gelap
malam itu, kau lebih sering melakukan hal itu. Tapi kini kau benar-benar
mengelus kepalaku. Tangan hangatmu telah berhasil menenangkan pikiranku.
Aku tidak
mengerti mengapa aku berubah menjadi sosok yang pendiam. Sejak aku bertemu
denganmu tak satu katapun yang kuucapkan. Perasaanku menjadi tak karuan ketika
yang kau lakukan hanya mengelus kepalaku dengan lembut seakan sejak dulu kau
ingin melakukannya. Bahagia sekaligus sedih bertemu denganmu. Aku ingin teriak. Aku ingin mengatakan bahwa
aku mencintaimu. Tapi yang aku lakukan hanya terus mengirimkan pesan singkat
untukmu. Bahkan kini aku tidak tahu apa yang aku kirimkan padamu. Aku menutup
mataku hingga hanya hitam yang kulihat. Merasakan cinta dan rindu yang beradu
menjadi satu. Berbuah guncangan hebat dalam hati. Berakibat pada kepalaku yang
dilanda pusing hebat. Tak ada lagi yang kufikirkan selain kau. Aku tak mengerti
mengapa kau lakukan itu padaku. Dan ketika ku buka mataku, ternyata itu semua
hanyalah mimpi…
Tamat
(created by
Dewi Nur Rhamadhany)
Jumat, 22 Maret 2013
cerpen - I LOVE YOU AND GOODBYE
huaaa hallo reader semuaa ^^
udah lama banget yaa thena ga upload cerpen, biasa lah orang sibuk #HUEEK
nah kali ini thena sengaja buat cerpen tentang mantan pacar.. hihi
OK met baca ^^/
udah lama banget yaa thena ga upload cerpen, biasa lah orang sibuk #HUEEK
nah kali ini thena sengaja buat cerpen tentang mantan pacar.. hihi
OK met baca ^^/
I LOVE YOU AND
GOODBYE
Sudah
lama sekali gadis itu berdiri di taman. Bersandar di pagar taman dengan telinga
yang tersumbat earphone. Angin ringan menghembuskan perlahan lembutnya rambut
cokelat panjang milik gadis itu. sesekali gadis itu menengok ke kanan dan
kekiri seperti mencari sesuatu, dan lalu kembali tertunduk. Kedua tangannya
masuk ke dalam saku jeans berwarna biru dongker yang gadis itu pakai.
Orang-orang yang kebetulan berada di taman itu hanya melihatnya sejenak dan
lalu melupakannya. Tidak ada sedikitpun ekspresi yang terlukis di wajah manis
gadis itu. entah gadis itu sedang sedih, atau bahagia. Tak ada yang
mengetahuinya, sulit di tebak.
Beberapa
saat kemudian seorang pria datang menghampiri gadis itu. pria itu tersenyum
manis pada gadis itu. gadis itu menatap pria itu dengan matanya yang sayu.
Gadis itu tersenyum. Senyum terpaksa dengan mata yang menahan tangis. Sekilas
wajah gadis itu begitu kuat, namun jauh dalam hatinya… gadis itu sangat ingin
menangis. Teriak sekencang-kencangnya menandakan bahwa ia tak siap dengan
kenyataan.
“michi! Sudah menunggu lama ya?!”, tanya pria itu santai
sambil melangkah lebih mendekati gadis itu.
“kau lama sekali Rikutsuki!”, jawab Michi pelan dengan suara
agak bergetar. Riku ikut bersandar di
pagar sebelah Michi.
Selang waktu beberapa
menit, mereka hanya terdiam tak berucap. Riku menatap lurus kedepan dan
menikmati pemandangan taman sambil menyunggingkan sedikit senyuman tipis
dibibirnya. MIchi tertunduk dan sesekali menoleh ke arah Riku dengan telinga yang
masih tersumbat earphone. Dan bila Riku menanyakan salah satu pertanyaan
basa-basi seperti ‘apa kabar’, Michi masih bisa mendengarnya dengan jelas. ya itu karena tak ada alunan lagu yang
mengalir melalui earphone itu. michi hanya sekedar memakainya dan mencoba tidak
mempedulikan omongan di sekitarnya.
“jadi…”, Riku mulai mengangkat bibirnya “mengapa kau ingin
menemuiku hari ini?”
“sebenarnya ada alasan mengapa aku ingin menemuimu hari ini”
“apa itu?”
“hari ini… adalah hari perpisahan, antara kau dan aku”,
jawab michi pelan.
Pandangan
Michi di alihkan pada langit sore, tidak bisa lagi ia menatap Riku. Dan
adakalanya ia bisa menatap wajah pria itu, air matanya tak tahan ingin keluar.
“bukankah kita memang sudah tak ada hubungan?”, jawab Riku.
“aku tahu itu, tapi tidak dengan hatiku. Apa kau tidak sadar
bahwa aku masih mencintaimu?”
Tidak… bukan ini yang seharusnya Michi katakan. Kenapa ia
malah bersikap begitu bodoh seperti saat ini? Seharusnya ia datang ke taman
itu, menunggu sampai pria itu datang. Memperdengarkan sepotong lagu yang
mewakili perasaannya yang ia simpan dalam sakunya dan lalu sapa pria itu dengan kata
‘teman’. Mengapa? Mengapa kata-kata
bodoh itu yang terucap?
“ku kira kau…”, Riku menatap mata michi yang sudah mulai
berkaca-kaca.
“aku tahu perasaan ini akan berubah, sampai kemarin…
hari-hari yang kita lalui bersama terasa begitu lama. Dan kini semua itu hanya
menjadi lembaran kenangan”.
“entah bagaimana mengucapkannya,
tapi ada sesuatu dalam hatiku yang terasa sedih. Jujur saja kau adalah salah
satu orang terpenting dalam hidupku. Aku juga masih menyayangimu”, jawab riku.
Mereka kini sama-sama memalingkan pandangannya kelangit.
“sekarang segalanya telah berubah,
tapi tenang saja… sesuatu dalam diriku terasa baik-baik saja. Tak ada yang perlu
di cemaskan tentang aku, atau perpisahan
kita”, suara Michi terdengar lebih bergetar dari sebelumnya.
“jadi apa sebenarnya tujuanmu
menemuiku hari ini?”, Tanya Riku.
“aku hanya ingin melihatmu dan
mencoba mengenang saat-saatku bersamamu, sebentar saja”, jawab Michi dengan
intonasi datar tapi terkesan merajuk.
Riku
tidak menjawab kata-kata gadis yang ada di sebelahnya ini. Sebenarnya ia juga
ingin berada bersama gadis itu tidak hanya sebentar… tapi lama juga tak apa.
Michi menundukan kepalanya, dan mulai memutar lagu Yui berjudul Good-bye days
yang alunannya langsung mengalir ke
telinga melalui earphone yang masih menempel di telinganya.
‘Onaji uta wo kuchizusamu
toki soba ni ite I wish
Kakkoyokunail yasashi sa ni aete yokatta yo
La la la la Good-bye days’
Kakkoyokunail yasashi sa ni aete yokatta yo
La la la la Good-bye days’
Bibir tipis michi bergerak
mengikuti lirik terakhir lagu itu. benar-benar lagu yang pas dengan keadaanya
saat ini. Sayup-sayup suara Michi terdengar pelan di antara keramaian taman.
Riku yang mendengarnya melirik kearah gadis itu dan tersenyum geli. Michi yang
menyadarinya memandang Riku sejenak dan lalu tertawa pelan. Semua orang tahu
kalau suara Michi itu tidak enak di bawa bernyanyi.
“sebenarnya kalau bisa, aku tidak
ingin bersedih saat ku bersamamu”, kata Michi saat ia sudah selesai dengan tawanya.
“aku juga, aku ingin tetap
tersenyum dan tertawa seperti dulu”, timpal Riku.
“bagaimana siap atau tidaknya
perasaanku, tapi untunglah kau tetap datang kemari. Entah bagaimana jika kau
tidak datang sekarang. Mungkin sekarang aku masih terdiam dan termenung
sendirian dengan sejuta perasaanku padamu yang masih tertahan”. MIchi
tersenyum.
“…”, tidak ada kata yang Riku
sampaikan pada Michi. Sejujurnya Riku bingung harus berkata apa.
“kau datang dengan tersenyum, aku
bingung… tak tahu bagaimana aku akan mengatakan ‘hai temanku’ dengan baik. Apa
karna hatiku belum bisa menerima kalau sekarang kita hanya ‘teman’?”, lanjut
Michi dengan penuh penekanan disetiap kata ‘teman’.
“semua butuh proses ‘kan?”
“pada awalnya aku berharap selalu
disisimu”
“tapi kita sudah tak ada hubungan”
sekali lagi Riku mengatakan hal itu. memang terasa sangat menyesakkan di dada
Michi.
“tenang saja… setelah aku bertemu
denganmu, aku sudah merelakan semuanya. Karna itu sejak awal sudah ku putuskan
kalau hari ini, hari perpisahan. Hari perpisahan antara hatiku dan hatimu”
“ya… aku mengerti”, kata Riku
pelan.
“ Hari perpisahan yang tidak
menyenangkan”, keluh Michi.
“aku juga berfikir sepert itu”,
jawab Riku.
“tapi aku senang bertemu denganmu”
Kata-kata
terakhir dari michi mengakhiri semua pembicaraan mereka. Michi mulai
melangkahkan kakinya dan berjalan ringan meninggalkan tempat itu. sebelum
benar-benar pergi ia berhenti dan menoleh kebelakang untuk melihat Riku. Riku
masih terpaku menatap gadis itu. michi mencoba tidak mempedulikan tatapan pria
itu. ia hanya tersenyum lebar dan melambaikan tangannya. Ia tahu… seharusnya ia
mengatakan ‘selamat tinggal’ atau ‘sampai jumpa nanti’ atau kata-kata
perpisahan lain layaknya orang-orang
akan berpisah. Tapi sepertinya Michi tidak sanggup mengatakan hal seperti itu.
ia takut menangis. Gadis itu kembali meluruskan pandangannya dan berjalan cepat
meninggalkan taman itu. namun tiba-tiba… bruuk. Riku mendekap gadis itu dari
balakang. Erat dekapannya seolah pria itu tak ingin kehilangan gadis itu sekarang.
Perlahan Riku membuka salah satu earphone yang terpasang di telinga Michi dan
membisikannya kata-kata. Kata-kata yang mampu membuat airmata Michi mengalir.
Kata-kata yang dapat membuat bahu michi bergetar hebat dan menangis
sejadi-jadinya. Kata-kata itu adalah : I
love you and goodbye…
Cerpen - Pacar dan pacarku
Aku Cuma mau curhat ko, dikit aja lewat cerpen. Kalian pernah
pacaran kan? Kalian pernah merasakan pacaran di dunia maya? Nah inilah perasaan
gadis yang pacaran di dunia maya setelah tahu pacarnya sudah punya gadis lain
di dunia nyata. Jujur aja, emang agak gaje ceritanya.
…Pacar dan pacarku…
Gadis
itu datang dan duduk di bangku bertuliskan nama YUKIA. Gadis itu memang tidak
terlalu cantik. Namun karismanya mampu menarik perhatian Mamoru. Tidak! bukan
karna itu saja. Wajah gadis itu seakan mengingatkan Mamoru pada seseorang.
Seorang gadis yang dulu pernah dicintainya. Seorang gadis yang pernah mengisi
harinya dengan keceriaan. Walau itu semua hanya di dunia maya.
“Mamoru-kun, anter aku ke kantin
yuk!”, seru seorang gadis memecahkan lamunan Mamoru.
“ehh iya”, kata Mamoru sambil
beranjak dari bangkunya dan berjalan di samping Kirey—pacarnya.
Tidak… walaupun ia sedang bersama
Kirey, tapi pikiran Mamoru tetap pada gadis bernama Yuki. Yuki adalah
satu-satunya gadis yang sama sekali belum pernah bicara padanya sejak upacara
penerimaan murid baru. Dan mungkin karna itulah Mamoru merasa tertarik dengan Yuki.
Wajah gadis itu… mirip dengan Rin, pacarya di dunia maya. Walau hubungannya
dengan Rin sudah lama sekali terputus, namun sedikitnya Mamoru masih ada rasa
suka pada Rin. Sayangnya gadis itu tinggal di kota yang berbeda dengannya.
Jarak itulah yang memaksa mereka untuk berpisah. Padahal sejak awal mereka
sudah tinggal dikota yang berbeda, lalu mengapa mereka masih saja menjalin
hubungan? Ya itulah kekuatan dari cinta yang kadang ilmuwan saja tidak dapat
memahaminya.
Yuki
melihat Mamoru dan Kirey secara bergantian. Namun mata coklatnya lebih banyak
menatap Mamoru. Memandang lelaki itu lirih sambil menahan rasa sakit didadanya
yang ia sendiri tidak tahu penyebabnya. meskipun begitu Yuki tetap yakin,
lelaki yang sejak tadi ia pandangi secara diam-diam itu adalah orang yang
pernah singgah di masa lalunya. Orang yang pernah memberikan sepercik harapan
tentang dunia yang menyenangkan. Orang yang hingga saat ini masih terus
dicintainya. Dan kini ia melihat orang yang dicintainya bersama gadis lain.
Tertawa dan nampaknya bahagia. Tanpa sadar butiran airmata Yuki mengalir begitu
saja, membasahi pipinya yang mulai berwana merah karna sejak tadi menahan
tangis. Dengan cepat Yuki melangkahkan kakinya pergi menjauh dari pemandangan
yang sama sekali tidak enak dilihat.
Dalam
keheningan taman belakang sekolah, butiran air mata Yuki terus mengalir. Tak
dapat di tahan, apalagi dihentikan. Yuki mendudukan dirinya di sebuah kursi.
Tangan kanannya membengkam mulutnya sendiri agar ia tidak teriak sedangkan
tangan kirinya memukul-mukul dadanya pelan berharap dengan begitu rasa sakitnya
hilang. Namun tetap saja, yang ia rasakan hanya sakit, sakit dan sakit…
tiba-tiba seorang lelaki datang.
“kamu kenapa?”, Tanya lelaki itu
lembut sambil medudukan diri di sebelah Yuki dan terus memandangi Yuki dengan
penuh perhatian. Yuki memandang lelaki itu sejenak. Mamoru?! Yuki tidak sanggup menjawab pertanyaan Mamoru. Dadanya
terlalu sesak tuk melontarkan sepatah dua patah kata untuk orang yang sangat
dicintainya itu. hanya terus menangis
dan berteriak dalam hati ini aku Mamoru!
Kau tidak ingat aku?! Di selingi isakan tangis yang semakin dahsyat.
Mamoru masih memandang wajah Yuki,
di jarak yang sedekat ini ia ingin memastikan bahwa Yuki bukanlah Rin. Bahu
gadis itu bergetar hebat dan tangisnya sangat kencang. Walau ia tak mendengar
sedikitpun suara yang keluar dari mulut Yuki. Tapi ia dapat mendengar jeritan
hati Yuki yang sangat terasa sakit walau ia sendiri tidak tahu apa penyebabnya.
Mamoru merangkul pundak Yuki dan menyenderkan kepala Yuki di bahunya. Berharap
dengan begitu tangisan Yuki akan mereda. Ternyata benar! Sedikit demi sedk Yuki
mulai berhenti menangis.
“tetap saja…”, kata Yuki pelan.
“tetap saja apanya?”, Mamoru
heran
“tetap saja… berulang kali kucoba
berpaling, hatiku terus menunjuk dirimu”
“maaf? Apa maksudmu?”
“kenapa ya? Padahal banyak lelaki
yang lebih darimu. Tapi tetap saja hatiku meronta-ronta memanggil namamu”
“…”, Mamoru tidak menjawab
“ya… seberapa kuat ku coba
berhenti. Seberapa lama kunanti. Seberapa teguh pendirianku. Yang ada dalam
hatiku hanya kamu”
“apakau sedang benar-benar
berbicara padaku?”, kini Mamoru benar-benar kebingungan
“tak ada nama lain yang bisa
menggantikan namamu dihatiku”
“maaf, tapi aku sudah punya
pacar”, jawab Mamoru polos.
“meski kau menyakiti dan
meninggalkan aku, yang terus ku fikirkan hanya kamu!”
“aku benar-benar tidak mengerti
dengan apa yang dari tadi kau bicarakan!”, Mamoru berdiri dari posisi duduknya.
Kini Yuki dan Mamoru saling berhadapan. Yuki masih tetap di posisi duduknya.
“seperti sejak awal ku katakan,
yang ku cintai hanya kamu dan selamanya hanya kamu! Walau sekarang kau telah
bersama gadis lain. Itu tak masalah bagiku karna rasa sakitnya hanya di awal.
Selanjutnya mungkin aku akan terbiasa dengan rasa sakit itu dan lalu mati
dengan hati yang masih tertuju padamu”
“…”, lagi-lagi Mamoru tidak bisa
menjawab kata-kata Yuki.
“sebaiknya kau sekarang pergi
bersama gadis itu. buatlah dirimu bahagia saat bersamanya. aku yakin kau pasti akan segera melupakan aku.
Anggaplah bahwa sebelumnya kita tak pernah bertemu. Dengan begitu aku akan
merasa tenang. Aku harap, karna kata-kata aku barusan kau akan segera
mengetahui siapa aku”, kata Yuki untuk yang terakhir kalinya seraya memalingkan
pandangannya kearah seorang gadis yang sejak tadi melihat mereka berdua dari
kejauhan. Yuki tersenyum…
Mamoru
yang bingung harus melakukan apa hanya bisa menuruti kata-kata Yuki. Ia masih
tidak mengerti pada semua yang tadi Yuki katakan. Kata-katanya terlalu rumit
hingga susah di cerna dalam otaknya. Ia kini sudah ada di hadapan Kirey.
Seperti biasanya, gadis itu langsung merangkul lengan Mamoru.
“apa yang kau lakukan bersama Yuki?”,
Tanya Kirey.
“tidak ada”, jawab Mamoru.
Matanya masih mencoba mengingat-ingat setiap kata yang tadi Yuki ucapkan.
“oiya! Ada e-mail masuk di hp-mu,
aku belum membukanya kok!”, kata Kirey seraya memberikan HP milik Mamoru.
Di bukanya E-mail itu. itu e-mail
dari Rin! Pacar dunia mayanya!. Segera ia baca e-mail itu.
To : Rin-chan
‘Lebih baik kamu berhenti dan fokus pada masa depan kamu… begitu juga
aku’. Itu e-mail Mamoru yang dikirm untuk Rin dulu sekali, saat mereka
putus. Dan kini Rin baru membalasnya.
From : Rin-chan
‘tetap saja… berulang kali kucoba berpaling, hatiku terus menunjuk
dirimu
kenapa ya? Padahal banyak lelaki yang lebih darimu. Tapi tetap saja
hatiku meronta-ronta memanggil namamu. ya… seberapa kuat ku coba berhenti.
Seberapa lama kunanti. Seberapa teguh pendirianku. Yang ada dalam hatiku hanya
kamu Mamoru!
tak ada nama lain yang bisa menggantikan namamu dihatiku. meski kau
menyakiti dan meninggalkan aku, yang terus ku fikirkan hanya kamu Mamoru!
seperti sejak awal ku katakan, yang ku cintai hanya kamu dan selamanya
hanya kamu! Walau sekarang kau telah bersama gadis lain. Itu tak masalah bagiku
karna rasa sakitnya hanya di awal. Selanjutnya mungkin aku akan terbiasa dengan
rasa sakit itu dan lalu mati dengan hati yang masih tertuju padamu
sebaiknya kau sekarang pergi bersama gadis itu. buatlah dirimu bahagia
saat bersamanya. aku yakin kau pasti
akan segera melupakan aku. Anggaplah bahwa sebelumnya kita tak pernah bertemu.
Dengan begitu aku akan merasa tenang’.
Mamoru
sampai tidak berkedip membaca e-mail yang baru saja Rin balas. Kata-kata itu…
dengan cepat Mamoru berlari menuju taman belakang sekolah dan meninggalkan Kirey.
Ia terus berharap semoga Yuki masih ada di situ. Untunglah… Yuki masih ada di
tempat itu.
“Yuki!!”, panggil Mamoru. Yuki
berdiri dan menatap wajah Mamoru heran.
“iyaa?”, jawab Yuki santai.
“Apa nama lengkapmu?!” Tanya Mamoru
langsung pada intinya. Yuki tersenyum lagi…
“nama lengkapku… Yukia Rin, dulu
kau biasa memanggilku Rin. Kini… kau sudah tahu siapa aku kan?”
“RIN??!!”
Pada akhirnya… seberapa besar
rasa cinta kita. Akan lebih baik bila kita mengungkapkannya. Ini adalah cerpen
yang sengaja dibuat untuk mewakili seribu kata yang tak tersampaikan untuk
seseorang yang jauh disana. Seseorang
yang kini sudah bahagia disisi gadis lain. (^_^)
Langganan:
Postingan (Atom)