Jumat, 20 November 2015

cerpen thriller - crazy girl

ini adalah cerpen yang aku buat dua bulan yang lalu. ketika sifat yandereku keluar #plak. tadinya gak akan aku post tapi karna permintaan temenku, akhirnya aku post deh ehehhe.. WARNING!! cerpen ini mengandung unsur pembunuhan, jadi jika ada yang tidak suka disarankan untuk tidak membacanya.

Crazy Girl

Semua berawal sejak aku mengenal gadis gila itu. Dan aku jatuh cinta padanya. Ingat saat aku pertama kali bertemu dengannya, saat itu dia sedang melakukan percobaan bunuh diri dengan melompat dari atap sekolah. Beberapa saat setelah dia melompat, aku berhasil menangkap tangannya. Gadis itu menatapku bingung. Sedangkan aku berada di posisi hidup dan mati.
“kenapa kau menangkapku? Ayo lepaskan aku dan berpura-puralah ntidak terjadi apa-apa.” Katanya dengan senyum yang merekah di wajah cantiknya.
                Mana bisa aku begitu! Aku tetap tidak melepaskan tangan kurusnya. Beberapa orang yang melihat kami berteriak histeris sedangkan yang lainnya memanggil bantuan. Tapi aku berhasil menarik gadis itu ketempat yang lebih aman sebelum yang lain bertindak.
“aku tidak akan berterimakasih, karna yang kuinginkan adalah jatuh kesana.”
                Langkah ringannya berjalan meninggalkanku yang masih terpenjara dalam ketegangan. Aku tertawa garing. Entah apa yang aku tertawakan. Tapi aku sadar, saat itu aku telah jatuh cinta padanya. Aku menyukai wajah cantiknya. Senyum cerianya. Tatapan beraninya. Bahkan ketika dia menangis karna semua orang menjauhinya, aku tetap berada disisinya. Walau semakin lama tingkahnya semakin aneh. Aku tetap menemaninya.
“kenapa?” tanyanya kala aku berhasil menangkapkan kucing liar seperti yang dia minta. “kenapa kau selalu membantuku?”
“apapun yang terjadi, aku akan selalu membantumu.” Jawabku.
                Itulah bukti cintaku. Apapun yang orang lain katakan, aku tetap mencintainya. Walau kini gadis pujaanku itu tampak lusuh bak raga tak bernyawa. Dia tetap cantik dimataku. Gadis itu memeluk kucing liar yang sekarang jadi miliknya dan tersenyum padaku.
“apapun?”
                Aku mengangguk pelan sambil tersenyum dan mengusap ujung kepalanya. Dia melompat kegirangan. Berputar-putar sambil tetap memeluk kucingnya. Senyum lebarnya takkan pernah kulupakan. Senyum yang bagaikan melaikat, hanya ia persembahkan untukku. Aku bersyukur bertemu dengan gadis gila ini.
                Beberapa hari setelahnya gadis gila itu tidak menampakkan diri di sekolah. Tanpa keterangan! Tanpa kabar! Dengan susah payah aku mencari tahu alamat rumah gadis gilaku. Cukup sulit mengingat tak ada siapapun yang dekat dengannya kecuali aku. Hingga akhirnya aku menemukan alamat rumahnya di kumpulan data murid di ruang dokumentasi sekolah. Dengan cepat aku berlari menuju alamat tersebut. Memasuki sebuah komplek yang lebih sepi dari pada komplek perumaha pada umumnya.
                Ting tong. Aku berdiri cukup lama menunggu seseorang membukakan pintu rumah itu untukku. Setelah 30 menit menunggu, akhirnya seorang wanita paruh baya membukakan pintu rumahnya.
“kumohon tolong bantu dia.” Kata wanita itu yang aku tahu bahwa ia adalah ibu dari gadis pujaanku.
                Langkah kakiku berdenyit kala menyentuh lantai kayu rumah gadis yang akan segera aku temui. Wanita paruh baya itu membukakakn sebuah pintu untukku. Bau amis dari dalam ruangan itu segera menguasai indra penciumanku. Dalam gelap aku melihat sosok yang sudah tak asing lagi untukku. Gadis gila itu sedang duduk menangis berlumuran darah.  Aku segera masuk dan merangkul tubuh kecilnya. Ternyata darah itu bukan berasal dari gadisku. Darah itu berasal dari bangkai kucing yang telah tertusuk cutter. Dari lukanya, sepertinya kucing itu ditusuk berkali-kali oleh sang pelaku yang tidak lain adalah gadis gilaku. Gadis gila itu masih saja menangis dan memeluk bangkai kucingnya.
“dia menolak cintaku.” Katanya disela-sela tangis yang tak kunjung berhenti. “tolong bantu aku.”
                Aku mengangguk dan setuju untuk membantu gadis gilaku. Apapun itu! Kini aku telah berdiri di depan sebuah apartemen kecil. Sang penghuni membukakan pintunya sesaat setelah aku menekan bel. Aku memandang penuh emosi pada pria yang membuat gadis gilaku menangis. Namun apa yang kuterima? Pria itu tersenyum dan tanpa perintah dia langsung menutup pintu, jendela dan gorden. Membiarkan kami sama-sama saling menatap dalam gelap. Yang kuingat hanya kata-kata gadisku.
“kumohon bantu aku membunuhnya! Kalau kami tak bisa bersama, tak boleh ada yang memilikinya di dunia ini. Tidak boleh! Dia harus mati.”
                 Aku mengeluarkan sebilah pisau yang gadis gilaku berikan demi suksesnya rencana pembunuhan ini. Pria itu tampak tenang seolah tahu bahwa hal ini akan terjadi.  Aku menyodorkan pisau itu.
“aku tahu wanita itu pasti akan mengirimmu untuk melakukan ini.”  Aku menatapnya tak percaya. “ bunuhlah aku, dan katakan wanita itu bahwa aku mencintainya. Bukannya aku menolaknya. Tapi kini aku sedang sakit, kita tak mungkin bersatu.”
                Pria itu meraih tanganku yang sedang menggenggam erat pisau dan menyodorikan pisau itu kejantungnya sendiri.  Aku menatapnya bingung. Tapi matanya seolah berbisik. “ayo tusuk aku!” aku menangis sejadi-jadinya sambil menusukan pisau itu pada jantung pria di hadapanku. Darah segar mengalir membasahi kemeja putih yang pria itu kenakan dan sebagian lainnya mengotori tangan, wajah dan hati nuraniku. Aku memenggal kepalanya dan membungkusnya dalam karung besar.
                Aku berlari keluar membawa karung itu menuju gadis gilaku. Tanpa mengetuknya aku langsung membuka pintu rumahnya danmasuk ke kamar gadisku. Dia tersenyum memandangku yang masih terengah-engah dikejar rasa bersalah. Aku memberinya karung berisikan kepala pria yang membuatnya patah hati. Gadis gilaku memeluk sepenggal kepala itu dan menciuminya.
“kau tahukan apa yang harus kau lakukan sekarang?” aku mengangguk pelan. “bunuh aku, lalu gantung mayatku seolah aku bunuh diri.
                Sekali lagi ku keluarkan pisau yang menjadi saksi bisu atas semua yang kulakukan. Dan sekali lagi kuteteskan airmata. Kutusukkan pisau itu pada perut gadis yang paling aku cintai. Lalu kugantung tubuhnya yang masih setengah sadar, sedag meregang nyawa.
“k-ka-kau ba-baik seka…li. Tapi se-setelah ini a-aku masih mem..butuhkanmu. ba-bantu… aku menyatukan ci-cintaku dengannya didunia sana.” Dan gadis gilaku mati dengan mata terbuka menatapku.
                Malam ini tidurku terganggu karna suara berisik dari luar. Suara sirine mobil polisi sepertinya sedang mengepung rumahku. Suara pintu kamar yang berusaha didobrak lebih berisik dari yang kuduga. Aku tahu apa yang aku lakukan dan aku merasa tidak bersalah sama sekali. Aku hanya membantu gadis yang aku cintai. Ahh… iyaa… masih ada yang harus kulakukan. Aku masih harus membantu gadis gilaku dialam sana dan bilang padanya bahwa aku mencintainya. Aku mengambil obat tidur segenggam penuh dan meminumnya sekaliguis. Lalu aku kembali tidur mala mini. Yaah… setidaknya aku takkan bangun lagi.
Tamat
By: Camelia Athena kharin (Rin-chan)

Kamis, 19 November 2015

cerpen remaja - Be Your Hime

hai semua.. udah lama banget aku gak post di blog. ada beberapa hal yang membuatku sulit post di blog sih. kendala sekolah dan lain-lain :( tapi setelah lulus dan bebas, aku malah jadi sedikit males buka blog wkwkwk. ini cerpen yang aku buat berbulan-bulan lalu dan baru aku post sekarang.. have u like it :3

Be Your Hime
Ayo kita bermain, aku jadi puterinya

            Pagi di sekolah menengah atas selalu ramai seperti biasanya. Ramai dengan gossip dari anak perempuan, atau ocehan tidak penting dari anak laki-laki. Namun semua aktivitas terhenti ketika gadis cantik itu datang. Setiap langkah kaki gadis itu selalu menyita perhatian. Jelas saja, seorang puteri lewat mana ada yang sanggup tuk tidak melihatnya.
“waahh lihat dia cantik sekali yaa!” puji seorang murid yang melihat kehadiran puteri tersebut.
Wajah gadis itu tampak berseri. Rambut hitam panjangnya berayun-ayun mengikuti langkahnya yang anggun. Matanya yang besar dan bulat begitu indah hingga tak seorangpun mampu menatapnya terlalu lama. Selalu seperti ini pagi yang dialami  Chinami—nama gadis itu. Namun sepertinya pagi ini sedikit berbeda.
“an-ano Chinami, jadilah pacarku!” seorang pria tiba-tiba datang, berdiri di depan Chinami dengan se-bucket bunga ditangannya. Apa-apaan ini?!! Teriak Chinami dalam hati.
“ma-maaf, tapi sudah ada orang yang aku suka”, seperti biasanya Chinami selalu menolak dengan senyuman.
            Tanpa beban sedikitpun, Chinami melanjutkan langkahnya memasuki kelas. Sedangkan pria yang baru saja ia tolak tak bergerak sedikitpun. Hanya termangu. Teringat kembali pada Chinami yang baru saja menolaknya dengan senyum. Bukan senyum yang bahagia sepertinya.
“sudahlah Kei,kan udah kubilang kalau mengejar Chinami itu sama saja dengan mengejar angin. Buang-buang waktu saja” seseorang menepuk pundak pria tadi.
“aku belum menyerah kok” Kei tersenyum. “seorang puteri memang sulit tuk di gapai, bukannya itu wajar?”
“aaahh terserah kau saja lah”
            Siang hari ini terlihat sangat terik. Matahari sepertinya keterlaluan memberi udara panas hari ini. Bahkan kalau bukan untuk urusan yang penting, anak sekolahan menunda kepulangannya dan memilih berteduh di suatu tempat. Menunggu awan tuk sedikitnya membuat langit  teduh. Namun tidak tuk Chinami, ia sepertinya berjalan sedikit terburu-buru keluar dari sekolah. Dan seperti biasanya, Kei mengikutinya dari belakang. Mengikuti kemanapun Chinami pergi adalah kebiasaan Kei sejak dulu. Sejak Chinami pindah kesekolahnya dan mencuri hatinya. Sudah satu bulan sekiranya sejak Chinami pindah, dan sejak saat itu pula ia selalu menguntit Chinami.
            Tiba-tiba ia terkejut ketika mendapati Chinami jatuh terduduk di pinggir jalan. Tangan kanannya menutupi mulut dan tangan kirinya memegang dada, ia seperti menahan sakit. Dengan cepat Kei datang mendekati Chinami.
“Chinami kamu gak apa-apa?” Tanya Kei khawatir.
“ahh iya, aku gak apa-apa kok” Chinami berdiri dan tersenyum pada Kei.
“kamu yakin?”
“iya, aku Cuma kelelahan mengejar seseorang”
            Mereka akhirnya berteduh di kedai ice cream pinggir jalan. Pandangan Kei tidak terlepas dari wajah manis Chinami. Gadis itu selalu tersenyum, namun tampaknya ia tak begitu bahagia. Ia seperti seorang puteri dalam dongeng, tapi belum memiliki akhir yang bahagia. Seperti kisah Cinderella dengan kehidupannya yang sengsara. Atau seperti rapunzell dengan kesendiriannya. Terkadang Chinami seperti puteri tidur dengan penantiannya.
“kamu yang tadi pagi kan?” pertanyaan Chinami memecahkan lamunan Kei.
“ahh iya, maaf ya tiba-tiba bilang begitu, padahal kamu belum kenal aku kan?”
“ohh gak apa-apa kok, aku Cuma kaget aja” Chinami berkata tanpa ekspresi, kemana senyum palsu yang biasa ia perlihatkan pada orang-orang?
“namaku Kei, dari kelas 3-1”
“salam kenal ya Kei, maaf yaa aku gak bisa balas perasaanmu. Aku suka sama orang lain.” Kali ini Chinami tersenyum sambil menatap mata Kei. Gadis itu berdiri dan merapikan rok pendeknya. Chinami melangkah pergi, sekali lagi… Kei di tinggalkan oleh Chinami.
“Chinami!” panggil Kei. Suara kerasnya berhasil membuat Chinami berhenti melangkah dan menengok kearahnya.
“ada apa?”
“kalau begitu, tidak usah jadi pacar. A-aku jadi pelayanmu saja! Aku akan menjadi pelayan tuan puteri!” Chinami tidak langsung menjawabnya. Jelas sekali tergambar di wajah gadis itu kalau ia sangat terkejut. Chinami memperlihatkan senyumnya kembali, senyum palsu yang ia perlihatkan pada semua orang.
“baiklah, ayo kita bermain sebentar. Aku jadi puterinya dan kamu pelayanku.”
            Gadis itu menatap Kei dengan lembut. Sorot matanya seakan ingin mengungkapkan sesuatu. Langkah kakinya begitu ringan kala ia datang mendekati Kei. Chinami tersenyum manis. Sedangkan pria yang ia beri senyum mematung, seakan udara panas itu membekukan tubuhnya.
“pelayanku… tolong bawakan tas-ku ya hihi” Chinami tertawa jahil dan dengan santai memberikan tasnya pada Kei. Kei menerimanya tanpa memalingkan pandangannya pada Chinami.
“eh?”
“kenapa Kei?”
“ah tidak, kita mau kemana?”
“aku ingin jalan-jalan sebentar, kamu gak ada acara kan?”
“ahh tidak”
“bagus kalau begitu.” Chinami melangkah ringan mendahului Kei, memimpin perjalanan mereka.
            Kei berjalan di samping Chinami. Gadis itu tampak menikmati perjalanannya namun pandangannya terlihat kosong. Tak ada yang tahu pasti mengapa seorang puteri seperti dia memiliki hidup yang tak menyenangkan. Chinami gadis yang cantik, wajah terdiamnya bahkan tampak seperti boneka. Suaranya sangat lembut dan senyumnya manis. Tapi apa yang membebani hidupnya hingga semua yang ada pada diri Chinami tampak palsu?
“ano Chinami” panggil Kei ragu saat mereka sampai di suatu taman.
“apa?” gadis itu menjawabnya dengan senyum.
“seperti apa orang yang kamu suka itu?”
“eh?” gadis itu terdiam. Langkah ringannya terhenti pada sebuah ayunan. Chinami duduk disana. Kedua tangannya berpegangan pada tali ayunan. “Kei dorong ayunannya” sepertinya Chinami tidak ingin menjawabnya.
Kei menyimpan tas mereka berdua di tanah dan berjalan kebelakang ayunan Chinami. Perlahan Kei mendorong ayunan tersebut. Dalam hembusan angin yang menyertai gerak ayunan tersebut, Chinami tertawa lepas.
“dulu juga aku dan dia suka bermain ayunan disini” kata Chinami dengan mata tak terlepas dari birunya langit.
“dia?”
“orang yang aku suka. Tadi kamu menanyakan itu bukan?”
            Kei tidak berhenti mendorong ayunannya. Rambut panjang Chinami menari-nari di belai angin. Ketika seseorang ingin bercerita, biasanya mereka saling berhadapan. Tapi kenapa Chinami lebih memilih membelakangi Kei?
“dia jahat, karna tak memberiku kesempatan tuk bilang suka,” dari belakang Kei melihat bahu gadis itu sedikit bergetar. “kami sudah kenal sejak kecil, dan sejak itu pula aku selalu menyukainya, tapi sepertinya dia tidak memiliki perasaan yang sama denganku.”
Kei tidak menjawab kata-kata Chinami. Padahal ia yang menanyakan hal tersebut, tapi kenapa kini bibirnya begitu kaku hingga tak mampu tuk berkata? Sekali lagi Chinami memberikan tawa palsu. Tawa yang ia buat agar semua mengira gadis itu baik-baik saja.
“sebulan yang lalu aku pindah kesekolahmu Kei, aku ingin bertemu dengannya” kaki gadis itu menahan dorongan ayunan dari Kei. Sudut mata Chinami melirik pria yang berdiri di belakangnya. “aku sudah berkeliling mencarinya, tapi dimanapun itu aku tak dapat menemukannya. Mungkin dia tidak ingin bertemu denganku” Chinami menoleh kebelakang.
            Ujung mata gadis itu tertahan airmata. Mungkin bila Chinami meneruskan ceritanya gadis itu akan menangis. Kei mengambil sapu tangan di saku celananya dan mengusapkannya pada ujung mata Chinami.
“gadis cantik tidak pantas untuk menangis.” Kei menyunggingkan seutas senyum berharap Chinami sedikitnya terhibur.
“aku gak nangis kok!” Chinami merebut sapu tangan Kei dan menghapus airmata yang hampir mengalir itu.
“kalau begitu ayo pulang ohime-sama, ini sudah terlalu sore”
Chinami mengangguk sambil tersenyum. Kei segera mengambil tasnya dan tas Chinami sedangkan gadis itu sudah berjalan duluan keluar taman. Kei sedikit berlari menyusul gadis itu. Kisah cinta puteri-nya itu sungguh tidak menyenangkan. Dongeng macam apa yang membiarkan seorang puteri menderita begitu lama? Tapi Kei tahu, ini semua bukan dongeng karangan manusia yang sejak awal sudah direncanakan akhirnya. Ini adalah cerita karya Tuhan dan tak ada yang tahu akan bagaimana akhir cerita ini.
“rumahku kearah sana, kita berpisah disini saja ya” kata Chinami ketika mereka berhenti di sebuah perempatan.
“oh iya. Ini tasnya.” Kei memberikan tas Chinami.
“arigatou yaa buat hari ini pelayanku” Chinami tersenyum manis dan berlari kearah gang rumahnya.
“Chinami.” Panggilan Kei menghentikan langkah ringan gadis itu.
“apa?”
“kalau boleh tau siapa nama orang yang kamu suka? Mungkin aku bisa bantu mencarinya, aku kan sudah sekolah disitu sejak kelas satu.”
“percuma saja… kamu gak bisa bantu apa-apa Kei”
“mana bisa aku diam saja ketika orang yang aku suka menderita. Mungkin ini akan menyakitkan tapi biarkan aku membantumu Chinami. Seorang puteri sudah seharusnya memiliki akhir yang bahagia dengan pangerannya. Aku sebagai pelayanmu akan selalu membantu Chinami-hime”
“baiklah,” Chinami membelakangi Kei lagi dan maju selangkah bersiap pergi. “ nama orang yang aku suka itu…” gadis itu menggantung kata-katanya, befikir sejenak apa baik bila dia memberitahukannya pada Kei. “Ryuuta kyosuke” Chinami melangkah pergi.
            Kei yang mendengarnya seakan menatap Chinami tidak percaya. Dengan cepat Kei berlari menyusul Chinami. Pria itu berhasil menggapai tangan Chinami. Kei menarik Chinami dalam rengkuhannya. Bahu Chinami bergetar seperti menahan sesuatu.
“tapi Ryuuta Kyosuke… sebulan yang lalu sudah meninggal karna kecelakaan.” Kei berbisik pelan.
“aku tau!” Chinami menangis sejadi-jadinya dalam pelukan Kei. “aku tahu… aku tahu ini sudah terlambat. Aku tahu! Andai aku datang lebih cepat”
Kei tidak bisa menahannya lagi. Air mata Kei ikut mengalir melihat puterinya ternyata begitu menderita. Sosok yang selalu tersenyum ternyata menahan duka yang sangat dalam di hatinya. Menderita tidak cocok dengan Chinami. Seorang puteri lebih cocok bahagia. Itu yang Kei tahu. Chinami berbalik dan menatap Kei.
“kenapa kamu malah ikut menangis?”
“aku ikut sedih, pasti rasanya sangat menyakitkan”
“tidak apa-apa kok! Aku sungguh tidak apa-apa, oiya! Besok kau sudah tidak perlu jadi pelayanku.” Chinami tersenyum seperti biasanya, seakan tidak terjadi apa-apa.
“kenapa?”
            Gadis itu tidak menjawabnya. Chinami melangkah menjauhi Kei berniat tuk meninggalkannya. Ujung mata gadis itu masih menitikkan airmata mewakili rasa sakit yang tak bisa hilang. Kei berjalan mengikutinya. Pria tidak seharusnya membiarkan seorang wanita pulang sendiri dalam keadaan seperti itu. Sakit… sangat sakit, sekiranya itu yang dirasakan Kei. Sakit melihat orang yang disukainya menderita. Sakit melihat cintanya kini sama sekali tak berguna. Sakit karna sekarang ia merasa sangat bodoh. Kenapa semua jadi seperti ini? Sejak awal ini memang salahnya karna mencintai seorang puteri seperti Chinami.
“Kei… kau tidak perlu mengikutiku” kata Chinami tanpa melihat kearah Kei.
“lalu bagaimana dengan perasaanku?” kata-kata Kei membuat gadis itu berhenti melangkah.
“apa aku membuatmu menderita? Apa sikap puteri ini membuatmu tak nyaman?”
“tidak! Bukan seperti itu! Kamu tahu kan kalau aku sangat menyukaimu, kenapa… kenapa kamu tidak mencoba melihatku sedikit saja! Jangan bersikap bodoh dengan terus memikirkan orang yang tidak ada.”
“maaf saja jika aku bersikap bodoh!” Chinami melangkah pergi. Semakin lama langkahnya semakin cepat. Kei berusaha mengejarnya, matanya terus tertuju pada Chinami seakan ia tak ingin kehilangannya. Kei berhasil menggenggam tangan puterinya.
“aku… kalau aku pasti bisa membuatmu bahagia, ku mohon… selamanya tetaplah jadi puteriku.”
“Lupakan saja! Perasaanmu itu, atau apapun yang ada dalam dirimu tentang diriku tolong lupakan saja!” Chinami menatap Kei dalam. Begitu dalam. Walau kata-katanya begitu halus namun terasa menusuk. Angin senja meniup perasaan mereka ke langit. Menyadari bahwa sesuatu tak bisa di paksakan. Kei menatap balik iris coklat Chinami. Begitu indah. Dan begitu penuh air mata. Seperti ada sesuatu yg tertahan. Menahan Kei tuk berhenti masuk lebih dalam lagi.
“baiklah. Mulai besok, ya, mulai besok aku akan melupakan semuanya. Aku tak akan jatuh cinta lagi padamu. Aku tak akan menjadi pelayanmu lagi. Aku… aku tak akan melihatmu lagi”
“baiklah, kau tak akan melihatku lagi besok.” Chinami tersenyum pahit.
“tapi aku punya permintaan”
“apa?”
“izinkan aku mengantarmu pulang, setidaknya sampai depan rumahmu. Untuk yang terakhir, sebelum aku melupakan semuanya”
            Chinami hanya mengangguk mewakili kata ya. Langit kemerahan sedikit demi sedikit berubah menjadi gelap. Sama halnya dengan Chinami yang sedikit demi sedikit kembali seperti biasanya. Senyum palsu sang puteri kini kembali. Gadis ramping itu sudah banyak bicara lagi, ia membicarakan banyak hal tentang masalalunya. Begitu ceria. Antusias. Dan dia berbohong atas senyumnya itu. Atas segala sesuatu. Chinami berbohong atas semuanya.
“ini rumahku” kata Chinami setelah mereka sampai di sebuah rumah berpagar tinggi.
“ohh iya, kalau begitu aku pulang dulu”
“ahh iya Kei, aku ingin mengatakan sesuatu”
“apa itu?”
“aku sungguh bahagia, menjadi puterimu itu sungguh menyenangkan.” Kei tidak menjawab Chinami yang kini menatapnya dalam. “mungkin kau sebenarnya bukan pelayan, tapi seorang malaikat yg di datangkan tuk menghiburku hihi”
“syukurlah kalau kau senang, Chinami”
“aku bersyukur bertemu denganmu.” Chinami mengaduk-aduk tasnya, ia mengambil sebuah memo dan menuliskan sesuatu. Lalu gadis itu merobek lembarannya dan melipatnya jadi kecil. Chinami memberikan lipatan kertas itu pada Kei.
“apa ini?” Kei mau membuka lipatannya.
“jangan di buka!” Chinami menghentikannya. “berjanjilah satu hal lagi, kalau kau sudah benar-benar melupakanku kau baru boleh membukanya!”
“baiklah aku berjanji.” Kei memasukkan lipatan kertas kecil itu dalam saku celananya.
“kalau begitu, selamat tinggal Kei” Chinami dengan cepat membuka pagar dan masuk kedalam. Gadis itu segera menutup pagar itu agar tak ada satu orangpun yang menyadari bahwa ia menangis. Sampai disaat terakhirnya bertemu dengan Kei, gadis itu tetap berbohong kalau ia bahagia.
            Kei melangkah pulang. Seperti ada sesuatu yang menghilang darinya. Dia seperti kacang tanah yang telah di ambil isinya. Dia hanya kulit kosong tak berguna. Tapi dia tidak boleh terus begini, ia harus meneruskan hidupnya. Kei kembali tersenyum. Pria itu kembali meneruskan hidupnya.
            Keesokan harinya Kei benar-benar tidak melihat Chinami. Ruang kelas mereka memang sangat berjauhan, itu hal yang wajar jika ia tidak melihat Chinami. Begitupun hari-hari selanjutnya, sosok puterinya kini menghilang. Setelah liburan musim panas, Chinami pun tetap tak terlihat meski ia sengaja menunggunya di gerbang. Musim gugurpun terlewatkan tanpa kehadiran Chinami. Dia dedaunan yang gugur di musim ini, dia begitu cepat jatuh dan menghilang. Dia seperti salju di musim dingin. Kristal salju yang indah saat melayang diudara, menghilang ketika menyentuh tanah. Begitu cepat. Chinami menghilang begitu cepat. Hingga Kei berhasil melupakan gadis itu. Sosok puteri itu kini lebih seperti mimpi di siang bolong.
            Sampai pada saatnya upacara kelulusan. Kei dengan tenang mendengarkan pidato dari kepala sekolah. Sesekali matanya mencari sosok puteri diantara siswa yang lainnya. Namun ia tetap tak menemukannya. Satu-satunya hal yang mengingatkannya pada Chinami adalah lipatan kertas kecil yang senang tiasa ia bawa kemanapun ia pergi. Kei membolak balik kertas itu, ia sangat ingin membukannya.
“…begitu banyak hal yang terjadi selama kalian berada di sekolah ini…” potongan pidato kepala sekolah sedikit terdengar oleh Kei.
“dan kita telah kehilangan 2 orang teman tercinta kita, yang pertama adalah Ryuuta Kyosuke yang meninggal karna kecelakaan musim panas lalu. Sosoknya begitu baik dimata kita…”
Kei tersenyum tipis mendengar nama itu di sebut. Pikirnya langsung melayang pada Chinami yang begitu mencintai Ryuuta Kyosuke. Apa yang dipikirkan gadis itu ya ketika nama orang yang ia cintai di sebut dalam pidato perpisahan.
“dan yang kedua adalah Akari Chinami yang sama-sama meninggal musim panas lalu karena penyakitnya. Kami takkan pernah melupakan wajah cantik dan pribadinya yang baik…”
            Kei terkejut mendengarnya. Ia menatap tak percaya pada semua yang ada di depannya. Beberapa orang di sekitarnya juga tampak terkejut. Chinami… gadis cantik itu meninggal. Dengan cepat Kei pergi keluar Aula. Ia berlari dengan cepat dan terus berlari. Ia berusaha keras menahan airmata. Dan akhirnya ia sampai ke atap sekolah. Kei merogok saku celananya kasar, mencari lipatan kertas yang Chinami berikan padanya. Kei menemukannya. Perlahan ia membuka lipatannya dan membaca isinya. Tulisan kecilnya sulit dibaca dengan mata yang penuh airmata tertahan. Kei mengusap matanya dan mencoba membacanya. Isinya:
Kei… jangan lupakan aku ya! –Chinami-
“aku tidak akan melupakanmu, Chinami-hime”
Kei menangis sejadi-jadinya. Mengapa ia tidak sadar kalau Chinami sedang sakit saat itu. Mengapa ia baru mengetahuinya? Chinami, seorang puteri dari negeri hayalan Kei memiliki akhir yang tak bahagia. Sungguh dongeng yang menggelikan. Cintanya pada Chinami seperti secangkir kopinya di pagi hari. Begitu hangat. Pekat. Manis. Dan datang terlambat. Sedangkan Chinami sendiri seperti bunga mawar di musim semi. Ia begitu cepat mekar, dan ia begitu cepat layu. Chinami… kau pergi terlalu cepat.

Tamat

By : Camelia Athena Kharin (Rin-Chan)

Sabtu, 07 Maret 2015

dear memory

hanya melihatmu saja itu sudah cukup

cukup menyadari kalau aku ini bodoh
bodoh karna tak bisa melupakanmu sampai saat ini
ternyata bukan keputusan terbaik ketika kita memilih orang lain untuk melupakan seseorang.

naif, begitu naif!

Jumat, 06 Februari 2015

cerpen - melipat kertas

akhirnya bisa bikin cerpen ini di tengah-tengah kesibukan wwkwkkwk... tadinya endingnya bakal happy. tapi ga jadi karna terlalu biasa.. jadi aku bikin yang sedikit beda tapi tetep happy haha. selamat membaca, di tunggu kritiknya yaa
Melipat Kertas
(apalah arti teman sebenarnya?)

                Seseorang pernah bilang teman seharusnya adalah orang yang bisa kau percaya. Buan sekelompok orang yang berkumpul dalam kelompok kecil dan pergi belanja ersama. Teman selalu ada disaat salah satunya membutuhkan dan kemudian membantunya. Memang seharusnya seperti itu, selalu seperti itu. Namun ternyata itu tak berlaku padaku. Ketika seseorang yang hanya berperan sebagai teman, selalu berharap menjadi ratu.
“hei.” Seseorang mengusap kepalaku dan duduk disampingku. Dia temanku.
“ah Kei!” aku tersenyum lebar. “mau permen?” lanjutku seraya menyodorkan beberapa permen di tangan. Dia mengambilnya dan ikut tersenyum.
“makasih ya Micchan” sekali lagi, tangan besarnya mengusap ujung kepalaku.
                Aku hanya menggeleng pelan bersiap tak suka bila dia mengusap kepalaku. Padahal tangannya begitu hangat kala sentuhan lembutnya menenangkan hatiku. Ahh… Kei, aku selalu senang berada didekatmu. Mungin ini artinya bahwa teman adalah seseorang yang dapat menenangkan hatimu. Ku tatap langit dengan gumpalan-gumpalan awan yang seperti kapas. Sosoknya tak pernah lepas walau hanya ujung mataku yang mengawasi. Ku lihat ia memandang langit yang sama.
“Michiko” ia memanggilku.
“apa?” jawabku singkat.
“ku rasa aku menyukai seseorang” Kei tersenyum tipis.
                Angin musim panas membelaiku lembut. Anehnya angin itu terasa dingin. Seperti ada sesuatu yang memukulku tepat di dada. Rasanya sait.
“oh wow!” sebuah senyum palsu terlukis di wajahku. “siapa dia?”
“kamu tau kan Kyo? Teman sekelasmu. Kurasa aku menyukainya.” Senyumnya melebar.
“ahh… dia memang cantik, terkenal pula. Gak heran alau kamusuka dia.”
“kamu mau bantu kan?” mata tajamnya menatapku penuh harap.
                Dadaku berdegup kencang. Tunggu! Ini adalah hal yang biasa terjadi bila Kei menatapku. Tapi mengapa kini detakannya terasa sakit? Mengapa sungguh sulit bagiku mengucapkan kata ya ? mengapa aku ingin menangis? Aku mengangguk mewakili kata ya yang enggan terucap.
“Kei” panggilku beberapa saat setelah kesunyian memeluk kita.
“apa?”
“menurutmu rasa suka itu seperti apa?” dia tampak berfikir.
“rasa sua itu mungkin semacam tertarik,” ia berhenti sejenak seperti mencari kata-kata yang pas tuk di ucapkan. “bila kau dekat dengan sesuatu yang membuatmu tertari, rasanya menyenangkan bukan?”
“tentu saja. Kalau dekat dengan sesuatu yang menarik, aku selalu ingin memilikinya. Dekat dengan sesuatu yang menarik itu menyenangkan.” Jawabku antusias.
“yah mungkin begitulah rasa suka menurutku”
“kalau gitu artinya, kamu tertarik pada Kyo? Kamu… ingin memiliki Kyo?” bodoh! Kenapa aku bertanya seperti itu?
                Kei tidak menjawabku. Wajahnya tampak berseri dengan senyum yang manis. Biasanya senyum itu dapat mengobati setiap sakit dihatiku, namun tidak untuk saat ini. Ia melangkah pergi, meninggalkanku di kursi taman sendirian. Membiarkanku larut dalam fikir. Memikirkan sebuah jawaban yang sengaja tak ia jawab. Bila rasa suka itu untuk menggapai hal yang menyenangkan, apa bedanya dengan bersenang-senang? Toh tujuannya sama.  Bila seorang teman bisa cukup menyenangkan, mengapa harus mencoba memiliki orang yang kita suka. Sungguh… aku tidak mengerti.
                Aku berjalan pelan pulang ke rumah. Masuk ke kamar dan menutup pintunya tanpa menimbulkan bantingan yang berarti.  mengambil secarik kertas dan mencoret-coretnya dengan kata-kata konyol tentang perasaanku.  Kulipat kertas itu menjadi lebih kecil dari ukuran aslinya. Aku suka Kei. Temanku yang paling dekat, kurasa. Sudah lama ku sadari perasaan ini. Tapi bagaimana mungkin seseorang yang hanya bisa melipat kertas mengungkapkan itu semua. Mengungkapkan setiap detak jantung yang tak berirama. Aku hanya teman yang begitu pemalu, tak pantas tuk bilang suka. Lipatankertas itu kusimpan di dalam toples bersama lipatan  kertas lainnya.
                Keesokan harinya didalam kelasku, aku melihat Kyo. Perempuan cantik yang sedang bercanda bersama kelompok kecilnya. Entah sejak kapan sosoknya begitu menghantui otakku. Mungkin sejak Kei bilang bahwa ia menyukai sosok ratu seperti Kyo. Ku kira, aku cemburu. Hei… aku berperan sebagai teman saat ini. Teman seharusnyamembantu, itu yang kutahu. Rasa suka murahan dalam hatiku tak berati bagi Kei. Aku akan lebih berarti bila bisa membantunya.
“Kyo” panggilku seraya menghampiri sosok ratu itu.
“hei Michiko, ada apa?” senyum lebarnya begitu indah.
“boleh minta nomor handphonemu? Kurasa teman dekatku menyukaimu” aku tersenyum kecil.
“tentu saja” Kyo terlalu baik.
                Tangan lembutnya mengambil secarik kertas dan menulis deretan angka yang sudah ia hafal. Memberikannya padaku dengan senyum yang tak lepas dario paras cantiknya. Aku sedikit membungkuk mewakili kata terimakasih dan duduk kembali di tempat dudukku. Ku pandangi kertas tersebut sambil melamun. Ku lipat kertas itu menjadi lebih kecil dari ukuran aslinya. Kulipat lagi kertas itu. Ku lipat lagi. Kulipat lagi hingga mungkin bisa ku lipat lagi. Kusimpan lipatannya di skau rok pendeku dan mulai fous pada pelajaran hari ini.
                Sepulang sekolah Kei meungguku seperti hari-hari sebelumnya. Wajahnya memperlihatkan rasa bahagia yang tak bisa ia sembunyikan. Aku begitu penasaran, ia tak pernah begitu ceria seperti saat ini.
“Micchan, aku punya kabar baoik!” katanya beberapa detik setelah aku sampai di dekatnya.
“aku juga punya”
“tadi aku bertemu Kyo” katanya sambil berjan dan menggiringku jalan di sampinya. “aku mengobrol dengannya, dia sangat baik. Sangat menyenangkan bertemu dengannya” dia tampak bersemangat.
“wah baguslah. Ternyata ada peningkatan.” Aku tersenyum lebar, begitu palsu bila ia mengerti.
“haha iya, mungkin semua akan berjalan lancar sekarang.” Dia mengusap ujung kepalaku namun pandangannya kearah lain, sekilas ia menatap langit, sekilas ia menatap masa depan percintaannya yang akan menyenangkan.
“kamu gak mau taiu kabar baik dariku?” aku mencoba membuatnya penasaran.
“apa itu?”
“kamu pasti akan senang!”
                Aku merogok saku rok pendekku. Mencoba mencari lipatan kertas yang tadi pagi aku simpan. Ahh… ketemu! Dengan cepat ku keluarkan dan meyimpannya di tangan Kei. Aku berjalan beberapa langkah mendahuluinya selagi ia sibuk membuka lipatannya. Aku tak sabar melihat bagaimana reaksinya setelah lihat apa yang tertulis dalam lipatan itu.
“Micchan, aku gak percaya kamu dapet nomor handphonenya! Ini beneran nomor Kyo, kan?” tanyanya memastikan sambil melangkah cepat menyamakan langkahnya dengan langkahku.
“dia sendiri kok yang nulis” aku tersenyum.
“aaa… makasih ya Micchan.” Dia merangkulku setengah memeluk. Kebiasaanya bila ia terlalu senang dan tak bisa mengungkapkannya. Lalu kami berdua berpisah di perempatan yang memisahkan komplek rumah kami.
                Sebenarnya apa specialnya seorang teman ketika yang kita fikirkan adalah orang yang kita suka. Ahh… aku tidak boleh seperti itu. Seorang teman seharusnya mengerti. Kuambil secarik kertas, kutulis keluh kesahkku tentang perasaan konyol terhadap seorang teman. Kulipat kertas itu. Kulipat lagi. Kulipat lagi hingga sangat kecil dan tak lagi bisa kulipat. Ku masukkan dalam toples. Toples bening tempatku menyimpan perasaanku dalam lipatan kertas. Menyakitkan ketika kita bertahan tuk tidak memiliki. Tersenyum melihat seseorang yang kita suka memikirkan orang lain. Perasaan ini begitu menyakitkan. Dan tanpa kusadari, aku menangis.
                Hari-hari selanjutnya penuh dengan cerita Kei tentang ratunya dan bla bla bla… tak semua aku ingat. Dan aku tak ingin mengingatnya. Semakin kudengar cerita tentang Kyo semakin terasa menyakitan. Teman seharusnya saling mendukung. Walau perasaan ini, rasa suka dan cinta ini harus aku lipat dalam hati. Membiarkannya tetap terlipat dan menjaganya agar tidak terbuka.
“Micchan” panggil Kei.
“apa?”
“besok aku akan mengungkapkan perasaanku, rasa suka ini sudah tak tertahankan” Kei berkata padaku dengan wajah yang penuh keceriaan. Ahh Kei akku sebagai teman selalu bahagia bila kau bahagia.
“aku selalu mendukungmu.” Senyum palsu itu kembali menghiasi wajahku.
“besok datang ke O’Cafè dan lihat apa yang akan terjadi, percayalah ini akan jadi hari yang menyenangkan” dia tampak sangat bersemangat.
                Aku tidak menjawabnya. Dia mengsap epalaku dengan tangan hangatnya. Sungguh nyaman dan menyakitkan. Senyumnya sungguh manis dan menyakitkan. Kini melihat Kei sangat menyakitkan. Pria itu melangkah pergi, dan aku hanya dapat melihatnyatanpa mampu melakukan apapun. Aku menahan tangis sambil melipat brosur yang tanpa sadar aku pungut dijalan. Tapi pada akhirnya aku menagis juga.
                Keesokan harinya aku sudah duduk manis disalah satu kursi O’Cafè. Dari jauh au sudah memperhatikan Kei yang duduk tegang dikursi lain di ujung sana.Kei memperhatikanku dari jauh. Tatapannya cemas, dia tak tampak ceria. Aku tersenyum padanya. Mencoba memberi semangat meski aku tak tahu itu berguna atau tidak. Namun Kei tetap tak tersenyum dan tetap menatapku. Bahkan hingga Kyo datang dan duduk bersamanya. Aku tersenyum miris melihat keduanya.
                Aku mengambil secarik kertas dari buku catatan kecilku dan kutulis semua perasaanku. Aku menyukai Kei, sungguh aku menyukainya. Bukan hanya tertarik, tapi juga menyayangi dan mencintainya. Kata orang teman itu tak pantas memiliki perasaan seperti ini. Lalu apalah arti teman sebenarnya, ketika perannya begitu menyakitkan. Aku benci hanya menjadi teman untuk orang yang kucintai. Aku tahu ini salah, namun rasanya terlalu memuakkan, dan aku menangis. Untu kesekian kalinya aku menangis untuk Kei. Aku melihat kearah Kei dengan air mata yang belum sempat ke seka. Kei melihatku, oh tidak… dia tidak boleh melihatku seperti ini. Aku berlari keluar Cafè. Dengan kertas penuh peraaan yang terus kulipat menjadi kecil, kecil, dan lebih kecil lagi. Aku tidak kuat menahannya, bukannya aku tidak suka melihat Kei bahagia. Tapi ini sungguh menyakitkan.
Ku toleh kebelakang…
Kei mengejarku, langkahnya yang cepat hampir menyusulku.
                Tak ada gunanya lagi aku berlari. Aku menghentikan langkahku dan kutatap wajahnya. Dia tidak tampak baik-baik saja, begitu pula aku. Aku tersenyum pada Kei disela-sela tangisanku.
“Kyo menolakku” katanya dengan senyum yang dibuat-buat.
“begitu ya” jawabku pelan.
“anehnya aku tidak merasa ini akhir dari segalanya, yah mungkin setidaknya aku masih memilikimu”
Aku tersenyum pada Kei dan berjalan menghampirinya. Ku berikan lipatan kertas yang sejak tadi kupegang. Dia menatapku bingung namun tak menola kertas yang tadi ku berikan. Dia membuka lipatannya dan membacanya.
Kei entah sejak kapan aku menyukaimu
Bahkan bila saat ini kau memilih orang lain, aku tetap menyukaimu
Bahkan bila saat ini waktutak memilih kita tuk bersama, aku tetap menyukaimu
Mungkin saat ini tak mungkin bagi kita tuk bersama, tapi masa depan siapa yang tahu
“miccah aku gak tahu kalau kamu—“
“Kei” aku memotong kata-katanya. “aku hanya menyukaimu, gak amsalah kamu mau suka aku atau enggak. Aku hanya ingin mengungkapkannya karna bila ditahan rasanya sakit.” Aku tersenyum lega. Dan sungguh tulus.
                Kei ikut tersenyum padaku. Dia merangkulku dan mengacak-acak rambutku. Aku membalasmya dengan memukul-mukul dia pelas. Kami tertawa bersama, terus seperti itu hingga kita pulang dan makan alam bersama. Kehidupanku kami kembali seperti semula. Dari Kei aku belajar menyukai, cemburu dan ikhlas tuk tidak memaksakan sesuatu. Aku senang dengan keadaanku seperti ini. Teman mungkin seharusnya tempat tuk berbagi banyak hal. Tempan tempat belajar banyak hal. Aku sadar itu, aku belajar itu semua.
Tamat

By: Camelia Athena Kharin (Rin-chan)