...................................................................................................................................................................
“aku tidak apa-apa, Hinata”, kata pria itu disela-sela nafas
lemasnya.
“na-Naruto… kenapa kau lakukan ini?!”, Hinata tak dapat
menahan tangisnya. Semakin lama teriakannya semakin keras. Ini salahnya… andai
saja Naruto tidak datang untuk melindunginya. Mungkin… mungkin Naruto…
“Hinata… Hinata aku…”, darah segar keluar dari mulut Naruto
diselingi dengan batuk yang terdengar menyakitkan. “…mencintaimu”, Naruto
menutup matanya perlahan dan tertidur di pelukan Hinata untuk selamanya.
“NARUTOO !!!”
TIME MACHINE
Hinata and Naruto
Fanfiction
Created by : Camelia.Athena.Kharin
Angin kencang di pesisir pantai telah berhasil
melambaikan rambut panjang Hinata. Gadis itu tak dapat menutupi kesedihannya.
Setelah pulang dari misi yang merengut nyawa pria yang paling di kasihi, semangat
hidupnya seakan habis di telan ombak.
Mata sayu gadis itu menatap lurus laut di depannya. Perlahan air matanya
keluar. Mengapa? Mengapa harus Naruto yang pergi? Mengapa tidak ia saja… Hinata
menangis sekencang-kencangnya. Berteriak agar semua beban dalam hatinya keluar.
Berharap rasa sakit dalam hatinya pergi bersama dengan ombak. Namun ternyata
itu tidak berhasil, air matanya masih saja mengalir dan dadanya masih terasa
sakit. Kenapa?
“Hinata!” panggil seseorang
“Kiba?”, Hinata berusaha tersenyum sambil menyeka air
matannya.
“lagi apa sendirian disini? Gak takut di culik?”, Kiba
mendekati Hinata lengkap dengan akamaru di sampingnya.
“ti-tidak akan ada yang menculikku disini”, jawab Hinata
pelan.
“hahaha aku hanya bercanda. Eh? Botol itu untuk apa?”,
“ah ini…” Hinata menatap botol yang sejak tadi ia genggam.
“ada tradisi lama… tulis harapanmu di secarik kertas dan masukan kedalam botol
kecil. Bila kau membiarkannya mengalir bersama dengan ombak di laut. Suatu hari
harapanmu akan terkabul”, Hinata tersenyum kecil.
“itu kan cerita untuk anak kecil”
“aku tahu…”, Hinata mengangkat kepalanya dan menatap wajah
temannya itu. “tapi aku tetap berharap ini benar-benar terjadi”, Hinata
tersenyum. Kiba menatap Hinata bingung.
“melihat kau seperti ini aku jadi merasa bersalah, ayo aku
bantu melempar botolnya ke laut!”, Kiba menggulung celananya selutut. Hinata
tersenyum senang, Kiba mau membantunya.
Mereka
berjalan menghampiri perbatasan antara
daratan dan lautan. Masuk kedalam air hingga lutut dan dress pendek yang gadis
itu kenakan basah terkena air laut. Perlahan Hinata melepaskan botol yang ada
di genggamannya dan membiarkan harapan kecilnya mengalir jauh bersama dengan
ombak. Berharap tradisi lama itu benar-benar ada dan harapannya bisa terkabul.
Sepercik harapan untuk pria yang ia cintai. Harapan untuk Naruto…
‘mengalir lah jauh
botol kecil’
‘bersama dengan surat
berisikan harapan’
‘di sisi lain
cakrawala’
Air mata gadis itu kembali mengalir untuk Naruto.
Malam
cerah tak berawan menghiasi langit kala itu. Angin hangat menyentuh siapa saja
yang ia lewati. Termasuk pada gadis berambut indigo yang kali ini sedang damai
dalam tidurnya. Hinata tertidur dengan mimpi
yang di penuhi oleh bayangan Naruto. Mimpi bahagia sekaligus menyesakkan
dada mengingat Naruto sudah tidak ada.
“Hinata…”
“engh” Hinata membuka matanya
“Hinata…”, Hinata membuka matanya lebar-lebar mengetahui
siapa yang memanggil namanya.
“Naruto !”, Hinata segera beranjak dari tempat tidurnya dan
menghampiri sosok itu sambil sesekali mengucek matanya, ini bukan mimpi ‘kan?!
Sosok penuh cahaya itu tersenyum penuh arti pada Hinata dan
melangkah pergi. Hinata tidak hanya diam, ia berjalan mengikuti sosok yang ia
yakini bahwa itu Naruto. Semakin lama langkahnya semakin cepat hingga akhirnya
ia berlari menembus malam. Langkah itu berhenti di pinggir pantai.
“na-Naruto?”, panggil Hinata pelan.
“sini… temani aku sebentar”, kata Naruto yang berdiri
sedikit jauh dari Hinata.
Hinata
berjalan pelan menghampiri Naruto. Pandangannya tak berpaling dari Naruto yang
seluruh tubuhnya bermandikan cahaya bulan. Gadis itu menelan sedikit ludahnya
dan mencubit pipinya, sakit! Ini bukan mimpi. Naruto berdiri di pantai tanpa
menggunakan alas kaki dan membiarkan kakinya sedikit basah terkena air laut.
Rambut jabriknya tertiup angin dan mata shappire nya menatap lurus kearah laut.
Badan Hinata bergetar hebat menahan tangis. Dengan cepat Hinata berlari dan
memeluk Naruto. Rindu dalam hatinya sudah tak terbendung lagi. Ia sudah tak
peduli ini nyata atau tidak. Ini mimpi atau kenyataan sudah bukan masalah lagi
untuknya. Ia hanya ingin merasakan hangat tubuh Naruto sekali lagi. Sebentar
saja…
“na-Naruto… aku merindukanmu”, kata Hinata diselingi tangis.
Naruto tak menjawab apapun, pria itu memeluk Hinata hangat
dengan senyum yang tak dapat di artikan dengan kata-kata. Hinata melepaskan
pelukannya dan menyeka air matanya. Menatap pria itu lembut seraya tangan halusnya
mengusap pipi Naruto.
Tiba-tiba
muncul cahaya terang dari laut, membentuk sebuah lingkaran besar yang semakin
lama semakin mendekat pada Hinata. Mata Hinata seperti terhipnotis dan secara
perlahan masuk ke dalam lingkaran itu. Sesekali Hinata menatap Naruto yang ikut
masuk ke dalamnya.
Hinata tak berani mengucapkan apapun. Pandangannya kini
berubah menjadi cahaya putih. Semakin lama semaki terang dan terus terang. Hinata
menutup matanya, ia tak tahan dengan silau dari cahaya tersebut. Dan ketika ia
membuka matanya… cahaya bulan berganti dengan terik matahari. Sosok Naruto yang
menemani Hinata semakin lama semakin memudar dan secara perlahan menghilang.
Ini hari sebelum Naruto dan Hinata pergi untuk misi itu…
.
Hinata’s POV
.
Aku benar-benar kembali ke masa lalu. Aku ingat betul hari
ini… ini hari sebelum kami pergi untuk misi itu. Kalau bisa aku tidak ingin
pergi untuk misi itu, tapi Naruto ia pasti akan tetap pergi. Apa yang harus
kulakukan?
“Hinata!”, suara yang memanggil namaku itu sudah tak asing
lagi di telingaku. Aku menoleh kebelakang
“Kiba? A-ada apa?”
“Aku mencari mu kemana-mana, kau dan Naruto di panggil ke
ruang Hokage”
“ba-baik”
Aku tahu hal ini pasti
akan terjadi. Kami berdua di panggil ke ruang Hokage dan lalu pergi
meninggalkan konoha untuk menjalankan misi. Dan setelah misi itu selesai, hanya
tinggal aku sendiri yang kembali ke konoha. Aku berjalan pelan menuju ruang
Hokage. Pakaianku masih belum berganti sejak kedatanganku kembali ke masalalu.
Aku masih memakai dress selutut yang sedikit kusam karna sebelumnya basah
terkena air laut. Ketika ku buka pintu ruangan orang paling hebat di konoha,
sosok itu kembali memenuhi pandanganku. Naruto sudah ada disana.
“a-anda memanggil saya?”, tanyaku sebelum masuk ke ruangan.
“iya, masuk lah Hinata”,
Mataku
menatap Hokage kelima itu dengan serius tapi ujung mataku sesekali melirik pria
yang ada di sampingku ini. Pria yang sebentar lagi kehilangan nyawanya karnaku.
Aku tak tahan ingin menangis, aku ingin sekali memeluk Naruto sebelum ia pergi
untuk selama-lamanya. Namun apa yang bisa kulakukan? Aku tidak dapat focus
mendengar penjelasan Hokage kelima ini. Aku juga tak perlu juga
mendengarkannya, aku masih ingat apa saja yang dikatakan nona Tsunade.
Setelah keluar dari ruangan Hokage aku dan Naruto berjalan
pelan menyusuri jalan di desa konoha ini. Bodoh…
kenapa aku hanya diam? Katakan sesuatu Hinata!! Teriakku dalam hati. Aku
tahu seberapa kuat aku berteriak dalam hati, tak sedikitpun terdengar oleh Naruto.
“hei Hinata!”, panggil pria itu.
“i-iya?”, aku gugup
“kita ke ichiraku dulu ya sebelum pergi untuk misi!
Tiba-tiba perutku lapar. Hehe”, cengir Naruto.
“umm”, aku mengangguk seraya memberikan sedikit senyuman.
Aku ingat, saat itu Naruto
mengajakku untuk pergi makan ramen di ichiraku. Tapi aku menolak, aku terlalu
gugup untuk makan bersama Naruto. Tapi kali ini, aku tidak akan
menyia-nyiakan waktukku. Aku hanya ingin terus bersama Naruto. Aku berharap
hari ini berlangsung sangat pelan. Tuhan
biarkan aku menikmati saat-saat terakhirku bersama Naruto..
“eh? Aku kira kau akan menok ajakkanku”
“ah itu.. umm..”, aku yakin pipiku memerah. “a-aku ju-ga
lapar, Naruto”
“baiklah kalau begitu! Ayo cepat ke ichiraku!!”, Naruto
meraih tanganku. Dengan cepat ia membawaku berlari menuju tempat makan ramen
kesukaannya.
Aku
menatapnya dari belakang, selalu dari belakang. Aku selalu mengikuti kemanapun
ia melangkah, sejak dulu aku selalu memperhatikannya. Membantunya dari
belakang, meski ia tak pernah tahu itu. Aku begitu menyayanginya. Waktuku tersita
hanya dengan angan tentangnya. Setelah sampai di ichiraku, kami berdua makan
bersama. Sesuatu yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya. Makan bersama Naruto? Ini mimpi kan?
“ah Hinata, tentang misi kali ini…”, Naruto memulai
pembicaraan.
“a-ada apa dengan misinya?”
“sebaiknya kau tidak usah ikut”, Naruto menatapku sendu. Glek… aku menelan ludahku.
“kenapa?”
“misi kali ini, kita harus membuntuti akatsuki. Mungkin
terdengar mudah, tapi ini berbahaya. Aku tak mau kehilanganmu dalam misi ini”
“naru—to?”, kenapa ia mengatakan itu, seharusnya aku yang
berkata seperti itu. Harusnya aku yang mencegah Naruto untuk ikut dalam misi
ini. Dalam misi ini… Naruto yang akan pergi bukan aku. Kenapa Naruto… aku menahan airmataku agar tidak keluar.
“ahh tidak apa-apa” aku tersenyum . “ bukankah ini berbahaya
Naruto? Seharusnya kau yang tidak ikut dalam misi ini”, jangan ikut dalam misi
ini Naruto!
Ia
tidak menjawab kata-kataku. Sisa makan siang kali ini kami habiskan dalam diam.
Aku ingin menangis mengingat beberapa jam lagi kami akan berangkat untuk misi.
Aku pulang menuju rumahku dan bersiap-siap untuk berangkat. Aku yakin sekali
kalau Naruto pasti sudah menungguku. Saat
itu aku datang terlambat, tapi Naruto tetap tersenyum padaku dan memaafkanku.
Kali ini, aku tidak mau datang terlambat. Aku yang akan menunggu Naruto.
Aku melewati mesin waktu, sebuah cahaya yang memberikanku
kesempatan untuk bertemu dengan Naruto sekali lagi. Bertemu dengan pria yang
selalu aku cintai, aku harus melindunginya. Aku sudah berdiri di gerbang desa
konoha, lengkap dengan tas berisikan peralatan ninjaku. Beberapa menit kemudian
Naruto datang. Rambut kuning jabriknya melambai searah dengan angin yang
bertiup kearahnya. Mata safirnya membuatku tak bisa berpaling darinya. Ia
berlari kearahku.
“ooi Hinata! Sudah
menunggu lama ya!”, ia melambaikan tangannya.
“ahh ti-tidak naru-to”, aku gugup.
“misi kali ini hanya kita berdua, yang lainnya sedang sibuk,
tidak masalah kan?”, Naruto tersenyum
“ti-tidak”, pipiku memanas.
Kami
berangkat meninggalkan konoha untuk misi. Naruto yang langkahnya lebih cepat
dariku membuatku akan selalu berlari di belakangnya. Kami berlari menyusuri dahan demi dahan di
dalam hutan. Sesuai kata Nona Hokage, kami menemukan akatsuki di tempat yang
sudah di perkirakan sebelumnya. Kami bersembunyi dibalik semak-semak. Sebentar
lagi Naruto akan…
“Naruto…”, kataku pelan.
“ada apa Hinata?”
“masih ada waktu, pulanglah!”, aku mencoba menghentikan Naruto
agar ia segera pulang, pulanglah Naruto! Kalau tidak kau akan…
“kenapa?”, pria itu bingung.
“kau akan mati”, air mataku keluar begitu saja. Ohh tidak!
Kenapa aku menangis?
“Hinata? Kau kenapa?”, Naruto semakin bingung melihatku
seperti ini.
“aku tahu kau tidak akan percaya… tapi kau akan mati dalam
misi ini karna melindungiku. Aku datang menggunakan mesin waktu agar aku bisa
memberitahumu soal ini. Aku mohon… Naruto… pulanglah, aku tidak ingin kau
mati!”, suaraku meninggi, aku menangis sejadi-jadinya. Naruto merangkulku.
“Hinata… bila aku mati untukmu, aku akan tetap senang”, bisik Naruto.
Tubuhku
bergetar hebat ketika kami menyadari ada seseorang yang berdiri di belakang
kami. Ohh tidak… kami ketahuan. Ini
salahku!. Dengan epat Naruto
mengeluarkan jurus andalannya. Begitupun aku. Kami kalah jumlah, tapi aku tidak
akan menyerah. Waktu terasa begitu cepat hingga aku menyadari sesuatu yang
besar datang kearahku. Pedang mlik salah satu anggota akatsuki siap menusuk
dadaku sebelum akhirnya…
“HINATA!!”,
Jleb… crat…
Naruto melindungiku… lagi…
.
Normal POV
.
Hinata berlari kearah Naruto.
Selagi akatsuki berhasil kabur, Hinata aman tuk memeluk tubuh Naruto. Tubuh
kekar yang kini tak berdaya lagi. Kenapa? Seharusnya Hinata yang melindungi Naruto.
Butir-butir air mata kini mulai menghiasi wajah cantiknya.
“Hinata…”, ucap pria itu pelan. Hinata tidak menjawab. Bibir
tipisnya sibuk menahan teriakan yang siap tuk keluar.
“meskipun kau menggunakan mesin waktu dan mencegahku tuk
melindungimu, itu tak ada gunanya. Karna apapun yang akan terjadi, kau tidak
bsa menghentikanku untuk melindungimu. Kau tidak bisa mencegahku untuk mati
karnamu. Karna aku..” suara Naruto semakin melemah, Hinata tahu waktu Naruto
tidak lama lagi. Hinata menangis sejadi-jadinya. Mengapa ia tidak bisa merubah
sesuatu?! Tuhan… tolong aku, teriak Hinata dalam hati.
“aku tidak apa-apa, Hinata”, kata pria itu disela-sela nafas
lemasnya.
“na-Naruto… kenapa kau lakukan ini?!”, Hinata tak dapat
menahan tangisnya. Semakin lama teriakannya semakin keras. Ini salahnya… andai
saja Naruto tidak datang untuk melindunginya. Mungkin… mungkin Naruto…
“Hinata… Hinata aku…”, darah segar keluar dari mulut Naruto
diselingi dengan batuk yang terdengar menyakitkan. “…mencintaimu”, Naruto
menutup matanya perlahan dan tertidur di pelukan Hinata untuk selamanya.
“NARUTOO !!!”
Tiba-tiba
cahaya yang sama datang menghampirinya. Cahaya mesin waktu yang menariknya
masuk kedalam sinar putih. Ia menutup matanya dalam tangis yang mendalam. Tidak
dapat di percaya, ketika ia di beri kesempatan untuk memperbaiki kesalahnnya di
masa lalu, Naruto tetap pergi meninggalkannya. Saat Hinata membuka matanya. Ia
sedang terbaring di pinggir pantai sambil menggenggam botol berisikan
harapannya. Botol yang seharusnya sudah pergi terbawa ombak.
Hinata bagun dan duduk sambil tangannya membuka dan
mengeluarkan isi botol itu. Di bacanya kembali isi harapan yang ia tulis di
secarik kertas yang ia sobek dari buku hariannya.
Tuhan… kenapa kau ambil pria yang paling aku sayang di dunia ini?
Mengapa kau tidak izinkan kami tuk tetap bersama…
Ini salahku!
Naruto bila kau membaca surat ini, aku hanya ingin kau tahu..
Aku nencintaimu.. demi hari-hari yang kulewati selama ini, aku
mencintaimu..
Aku minta maaf! Naruto… aku minta maaf, ini salahku!
Aku berharap aku punya mesin waktu, dengan mesin itu aku akan kembali
kemasa lalu dan bertemu denganmu sekali
lagi.
Tuhan… bila kita berdua terlahir kembali, aku berharap suatu saat kau izinkan kami tuk tetap bersama.
Hinata Hyuuga
.
.
END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar