Jumat, 06 Februari 2015

cerpen - melipat kertas

akhirnya bisa bikin cerpen ini di tengah-tengah kesibukan wwkwkkwk... tadinya endingnya bakal happy. tapi ga jadi karna terlalu biasa.. jadi aku bikin yang sedikit beda tapi tetep happy haha. selamat membaca, di tunggu kritiknya yaa
Melipat Kertas
(apalah arti teman sebenarnya?)

                Seseorang pernah bilang teman seharusnya adalah orang yang bisa kau percaya. Buan sekelompok orang yang berkumpul dalam kelompok kecil dan pergi belanja ersama. Teman selalu ada disaat salah satunya membutuhkan dan kemudian membantunya. Memang seharusnya seperti itu, selalu seperti itu. Namun ternyata itu tak berlaku padaku. Ketika seseorang yang hanya berperan sebagai teman, selalu berharap menjadi ratu.
“hei.” Seseorang mengusap kepalaku dan duduk disampingku. Dia temanku.
“ah Kei!” aku tersenyum lebar. “mau permen?” lanjutku seraya menyodorkan beberapa permen di tangan. Dia mengambilnya dan ikut tersenyum.
“makasih ya Micchan” sekali lagi, tangan besarnya mengusap ujung kepalaku.
                Aku hanya menggeleng pelan bersiap tak suka bila dia mengusap kepalaku. Padahal tangannya begitu hangat kala sentuhan lembutnya menenangkan hatiku. Ahh… Kei, aku selalu senang berada didekatmu. Mungin ini artinya bahwa teman adalah seseorang yang dapat menenangkan hatimu. Ku tatap langit dengan gumpalan-gumpalan awan yang seperti kapas. Sosoknya tak pernah lepas walau hanya ujung mataku yang mengawasi. Ku lihat ia memandang langit yang sama.
“Michiko” ia memanggilku.
“apa?” jawabku singkat.
“ku rasa aku menyukai seseorang” Kei tersenyum tipis.
                Angin musim panas membelaiku lembut. Anehnya angin itu terasa dingin. Seperti ada sesuatu yang memukulku tepat di dada. Rasanya sait.
“oh wow!” sebuah senyum palsu terlukis di wajahku. “siapa dia?”
“kamu tau kan Kyo? Teman sekelasmu. Kurasa aku menyukainya.” Senyumnya melebar.
“ahh… dia memang cantik, terkenal pula. Gak heran alau kamusuka dia.”
“kamu mau bantu kan?” mata tajamnya menatapku penuh harap.
                Dadaku berdegup kencang. Tunggu! Ini adalah hal yang biasa terjadi bila Kei menatapku. Tapi mengapa kini detakannya terasa sakit? Mengapa sungguh sulit bagiku mengucapkan kata ya ? mengapa aku ingin menangis? Aku mengangguk mewakili kata ya yang enggan terucap.
“Kei” panggilku beberapa saat setelah kesunyian memeluk kita.
“apa?”
“menurutmu rasa suka itu seperti apa?” dia tampak berfikir.
“rasa sua itu mungkin semacam tertarik,” ia berhenti sejenak seperti mencari kata-kata yang pas tuk di ucapkan. “bila kau dekat dengan sesuatu yang membuatmu tertari, rasanya menyenangkan bukan?”
“tentu saja. Kalau dekat dengan sesuatu yang menarik, aku selalu ingin memilikinya. Dekat dengan sesuatu yang menarik itu menyenangkan.” Jawabku antusias.
“yah mungkin begitulah rasa suka menurutku”
“kalau gitu artinya, kamu tertarik pada Kyo? Kamu… ingin memiliki Kyo?” bodoh! Kenapa aku bertanya seperti itu?
                Kei tidak menjawabku. Wajahnya tampak berseri dengan senyum yang manis. Biasanya senyum itu dapat mengobati setiap sakit dihatiku, namun tidak untuk saat ini. Ia melangkah pergi, meninggalkanku di kursi taman sendirian. Membiarkanku larut dalam fikir. Memikirkan sebuah jawaban yang sengaja tak ia jawab. Bila rasa suka itu untuk menggapai hal yang menyenangkan, apa bedanya dengan bersenang-senang? Toh tujuannya sama.  Bila seorang teman bisa cukup menyenangkan, mengapa harus mencoba memiliki orang yang kita suka. Sungguh… aku tidak mengerti.
                Aku berjalan pelan pulang ke rumah. Masuk ke kamar dan menutup pintunya tanpa menimbulkan bantingan yang berarti.  mengambil secarik kertas dan mencoret-coretnya dengan kata-kata konyol tentang perasaanku.  Kulipat kertas itu menjadi lebih kecil dari ukuran aslinya. Aku suka Kei. Temanku yang paling dekat, kurasa. Sudah lama ku sadari perasaan ini. Tapi bagaimana mungkin seseorang yang hanya bisa melipat kertas mengungkapkan itu semua. Mengungkapkan setiap detak jantung yang tak berirama. Aku hanya teman yang begitu pemalu, tak pantas tuk bilang suka. Lipatankertas itu kusimpan di dalam toples bersama lipatan  kertas lainnya.
                Keesokan harinya didalam kelasku, aku melihat Kyo. Perempuan cantik yang sedang bercanda bersama kelompok kecilnya. Entah sejak kapan sosoknya begitu menghantui otakku. Mungkin sejak Kei bilang bahwa ia menyukai sosok ratu seperti Kyo. Ku kira, aku cemburu. Hei… aku berperan sebagai teman saat ini. Teman seharusnyamembantu, itu yang kutahu. Rasa suka murahan dalam hatiku tak berati bagi Kei. Aku akan lebih berarti bila bisa membantunya.
“Kyo” panggilku seraya menghampiri sosok ratu itu.
“hei Michiko, ada apa?” senyum lebarnya begitu indah.
“boleh minta nomor handphonemu? Kurasa teman dekatku menyukaimu” aku tersenyum kecil.
“tentu saja” Kyo terlalu baik.
                Tangan lembutnya mengambil secarik kertas dan menulis deretan angka yang sudah ia hafal. Memberikannya padaku dengan senyum yang tak lepas dario paras cantiknya. Aku sedikit membungkuk mewakili kata terimakasih dan duduk kembali di tempat dudukku. Ku pandangi kertas tersebut sambil melamun. Ku lipat kertas itu menjadi lebih kecil dari ukuran aslinya. Kulipat lagi kertas itu. Ku lipat lagi. Kulipat lagi hingga mungkin bisa ku lipat lagi. Kusimpan lipatannya di skau rok pendeku dan mulai fous pada pelajaran hari ini.
                Sepulang sekolah Kei meungguku seperti hari-hari sebelumnya. Wajahnya memperlihatkan rasa bahagia yang tak bisa ia sembunyikan. Aku begitu penasaran, ia tak pernah begitu ceria seperti saat ini.
“Micchan, aku punya kabar baoik!” katanya beberapa detik setelah aku sampai di dekatnya.
“aku juga punya”
“tadi aku bertemu Kyo” katanya sambil berjan dan menggiringku jalan di sampinya. “aku mengobrol dengannya, dia sangat baik. Sangat menyenangkan bertemu dengannya” dia tampak bersemangat.
“wah baguslah. Ternyata ada peningkatan.” Aku tersenyum lebar, begitu palsu bila ia mengerti.
“haha iya, mungkin semua akan berjalan lancar sekarang.” Dia mengusap ujung kepalaku namun pandangannya kearah lain, sekilas ia menatap langit, sekilas ia menatap masa depan percintaannya yang akan menyenangkan.
“kamu gak mau taiu kabar baik dariku?” aku mencoba membuatnya penasaran.
“apa itu?”
“kamu pasti akan senang!”
                Aku merogok saku rok pendekku. Mencoba mencari lipatan kertas yang tadi pagi aku simpan. Ahh… ketemu! Dengan cepat ku keluarkan dan meyimpannya di tangan Kei. Aku berjalan beberapa langkah mendahuluinya selagi ia sibuk membuka lipatannya. Aku tak sabar melihat bagaimana reaksinya setelah lihat apa yang tertulis dalam lipatan itu.
“Micchan, aku gak percaya kamu dapet nomor handphonenya! Ini beneran nomor Kyo, kan?” tanyanya memastikan sambil melangkah cepat menyamakan langkahnya dengan langkahku.
“dia sendiri kok yang nulis” aku tersenyum.
“aaa… makasih ya Micchan.” Dia merangkulku setengah memeluk. Kebiasaanya bila ia terlalu senang dan tak bisa mengungkapkannya. Lalu kami berdua berpisah di perempatan yang memisahkan komplek rumah kami.
                Sebenarnya apa specialnya seorang teman ketika yang kita fikirkan adalah orang yang kita suka. Ahh… aku tidak boleh seperti itu. Seorang teman seharusnya mengerti. Kuambil secarik kertas, kutulis keluh kesahkku tentang perasaan konyol terhadap seorang teman. Kulipat kertas itu. Kulipat lagi. Kulipat lagi hingga sangat kecil dan tak lagi bisa kulipat. Ku masukkan dalam toples. Toples bening tempatku menyimpan perasaanku dalam lipatan kertas. Menyakitkan ketika kita bertahan tuk tidak memiliki. Tersenyum melihat seseorang yang kita suka memikirkan orang lain. Perasaan ini begitu menyakitkan. Dan tanpa kusadari, aku menangis.
                Hari-hari selanjutnya penuh dengan cerita Kei tentang ratunya dan bla bla bla… tak semua aku ingat. Dan aku tak ingin mengingatnya. Semakin kudengar cerita tentang Kyo semakin terasa menyakitan. Teman seharusnya saling mendukung. Walau perasaan ini, rasa suka dan cinta ini harus aku lipat dalam hati. Membiarkannya tetap terlipat dan menjaganya agar tidak terbuka.
“Micchan” panggil Kei.
“apa?”
“besok aku akan mengungkapkan perasaanku, rasa suka ini sudah tak tertahankan” Kei berkata padaku dengan wajah yang penuh keceriaan. Ahh Kei akku sebagai teman selalu bahagia bila kau bahagia.
“aku selalu mendukungmu.” Senyum palsu itu kembali menghiasi wajahku.
“besok datang ke O’Cafè dan lihat apa yang akan terjadi, percayalah ini akan jadi hari yang menyenangkan” dia tampak sangat bersemangat.
                Aku tidak menjawabnya. Dia mengsap epalaku dengan tangan hangatnya. Sungguh nyaman dan menyakitkan. Senyumnya sungguh manis dan menyakitkan. Kini melihat Kei sangat menyakitkan. Pria itu melangkah pergi, dan aku hanya dapat melihatnyatanpa mampu melakukan apapun. Aku menahan tangis sambil melipat brosur yang tanpa sadar aku pungut dijalan. Tapi pada akhirnya aku menagis juga.
                Keesokan harinya aku sudah duduk manis disalah satu kursi O’Cafè. Dari jauh au sudah memperhatikan Kei yang duduk tegang dikursi lain di ujung sana.Kei memperhatikanku dari jauh. Tatapannya cemas, dia tak tampak ceria. Aku tersenyum padanya. Mencoba memberi semangat meski aku tak tahu itu berguna atau tidak. Namun Kei tetap tak tersenyum dan tetap menatapku. Bahkan hingga Kyo datang dan duduk bersamanya. Aku tersenyum miris melihat keduanya.
                Aku mengambil secarik kertas dari buku catatan kecilku dan kutulis semua perasaanku. Aku menyukai Kei, sungguh aku menyukainya. Bukan hanya tertarik, tapi juga menyayangi dan mencintainya. Kata orang teman itu tak pantas memiliki perasaan seperti ini. Lalu apalah arti teman sebenarnya, ketika perannya begitu menyakitkan. Aku benci hanya menjadi teman untuk orang yang kucintai. Aku tahu ini salah, namun rasanya terlalu memuakkan, dan aku menangis. Untu kesekian kalinya aku menangis untuk Kei. Aku melihat kearah Kei dengan air mata yang belum sempat ke seka. Kei melihatku, oh tidak… dia tidak boleh melihatku seperti ini. Aku berlari keluar Cafè. Dengan kertas penuh peraaan yang terus kulipat menjadi kecil, kecil, dan lebih kecil lagi. Aku tidak kuat menahannya, bukannya aku tidak suka melihat Kei bahagia. Tapi ini sungguh menyakitkan.
Ku toleh kebelakang…
Kei mengejarku, langkahnya yang cepat hampir menyusulku.
                Tak ada gunanya lagi aku berlari. Aku menghentikan langkahku dan kutatap wajahnya. Dia tidak tampak baik-baik saja, begitu pula aku. Aku tersenyum pada Kei disela-sela tangisanku.
“Kyo menolakku” katanya dengan senyum yang dibuat-buat.
“begitu ya” jawabku pelan.
“anehnya aku tidak merasa ini akhir dari segalanya, yah mungkin setidaknya aku masih memilikimu”
Aku tersenyum pada Kei dan berjalan menghampirinya. Ku berikan lipatan kertas yang sejak tadi kupegang. Dia menatapku bingung namun tak menola kertas yang tadi ku berikan. Dia membuka lipatannya dan membacanya.
Kei entah sejak kapan aku menyukaimu
Bahkan bila saat ini kau memilih orang lain, aku tetap menyukaimu
Bahkan bila saat ini waktutak memilih kita tuk bersama, aku tetap menyukaimu
Mungkin saat ini tak mungkin bagi kita tuk bersama, tapi masa depan siapa yang tahu
“miccah aku gak tahu kalau kamu—“
“Kei” aku memotong kata-katanya. “aku hanya menyukaimu, gak amsalah kamu mau suka aku atau enggak. Aku hanya ingin mengungkapkannya karna bila ditahan rasanya sakit.” Aku tersenyum lega. Dan sungguh tulus.
                Kei ikut tersenyum padaku. Dia merangkulku dan mengacak-acak rambutku. Aku membalasmya dengan memukul-mukul dia pelas. Kami tertawa bersama, terus seperti itu hingga kita pulang dan makan alam bersama. Kehidupanku kami kembali seperti semula. Dari Kei aku belajar menyukai, cemburu dan ikhlas tuk tidak memaksakan sesuatu. Aku senang dengan keadaanku seperti ini. Teman mungkin seharusnya tempat tuk berbagi banyak hal. Tempan tempat belajar banyak hal. Aku sadar itu, aku belajar itu semua.
Tamat

By: Camelia Athena Kharin (Rin-chan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar