akhirnya bisa bikin cerpen ini di tengah-tengah kesibukan wwkwkkwk... tadinya endingnya bakal happy. tapi ga jadi karna terlalu biasa.. jadi aku bikin yang sedikit beda tapi tetep happy haha. selamat membaca, di tunggu kritiknya yaa
Melipat Kertas
(apalah arti teman sebenarnya?)
Seseorang
pernah bilang teman seharusnya adalah orang yang bisa kau percaya. Buan
sekelompok orang yang berkumpul dalam kelompok kecil dan pergi belanja ersama.
Teman selalu ada disaat salah satunya membutuhkan dan kemudian membantunya.
Memang seharusnya seperti itu, selalu seperti itu. Namun ternyata itu tak
berlaku padaku. Ketika seseorang yang hanya berperan sebagai teman, selalu
berharap menjadi ratu.
“hei.” Seseorang mengusap
kepalaku dan duduk disampingku. Dia temanku.
“ah Kei!” aku tersenyum lebar.
“mau permen?” lanjutku seraya menyodorkan beberapa permen di tangan. Dia
mengambilnya dan ikut tersenyum.
“makasih ya Micchan” sekali lagi,
tangan besarnya mengusap ujung kepalaku.
Aku
hanya menggeleng pelan bersiap tak suka bila dia mengusap kepalaku. Padahal
tangannya begitu hangat kala sentuhan lembutnya menenangkan hatiku. Ahh… Kei,
aku selalu senang berada didekatmu. Mungin ini artinya bahwa teman adalah
seseorang yang dapat menenangkan hatimu. Ku tatap langit dengan
gumpalan-gumpalan awan yang seperti kapas. Sosoknya tak pernah lepas walau
hanya ujung mataku yang mengawasi. Ku lihat ia memandang langit yang sama.
“Michiko” ia memanggilku.
“apa?” jawabku singkat.
“ku rasa aku menyukai seseorang”
Kei tersenyum tipis.
Angin
musim panas membelaiku lembut. Anehnya angin itu terasa dingin. Seperti ada
sesuatu yang memukulku tepat di dada. Rasanya sait.
“oh wow!” sebuah senyum palsu
terlukis di wajahku. “siapa dia?”
“kamu tau kan Kyo? Teman
sekelasmu. Kurasa aku menyukainya.” Senyumnya melebar.
“ahh… dia memang cantik, terkenal
pula. Gak heran alau kamusuka dia.”
“kamu mau bantu kan?” mata
tajamnya menatapku penuh harap.
Dadaku
berdegup kencang. Tunggu! Ini adalah hal yang biasa terjadi bila Kei menatapku.
Tapi mengapa kini detakannya terasa sakit? Mengapa sungguh sulit bagiku
mengucapkan kata ya ? mengapa aku
ingin menangis? Aku mengangguk mewakili kata ya yang enggan terucap.
“Kei” panggilku beberapa saat
setelah kesunyian memeluk kita.
“apa?”
“menurutmu rasa suka itu seperti
apa?” dia tampak berfikir.
“rasa sua itu mungkin semacam
tertarik,” ia berhenti sejenak seperti mencari kata-kata yang pas tuk di
ucapkan. “bila kau dekat dengan sesuatu yang membuatmu tertari, rasanya
menyenangkan bukan?”
“tentu saja. Kalau dekat dengan
sesuatu yang menarik, aku selalu ingin memilikinya. Dekat dengan sesuatu yang
menarik itu menyenangkan.” Jawabku antusias.
“yah mungkin begitulah rasa suka
menurutku”
“kalau gitu artinya, kamu
tertarik pada Kyo? Kamu… ingin memiliki Kyo?” bodoh! Kenapa aku bertanya
seperti itu?
Kei
tidak menjawabku. Wajahnya tampak berseri dengan senyum yang manis. Biasanya
senyum itu dapat mengobati setiap sakit dihatiku, namun tidak untuk saat ini.
Ia melangkah pergi, meninggalkanku di kursi taman sendirian. Membiarkanku larut
dalam fikir. Memikirkan sebuah jawaban yang sengaja tak ia jawab. Bila rasa
suka itu untuk menggapai hal yang menyenangkan, apa bedanya dengan
bersenang-senang? Toh tujuannya sama. Bila
seorang teman bisa cukup menyenangkan, mengapa harus mencoba memiliki orang
yang kita suka. Sungguh… aku tidak mengerti.
Aku
berjalan pelan pulang ke rumah. Masuk ke kamar dan menutup pintunya tanpa
menimbulkan bantingan yang berarti.
mengambil secarik kertas dan mencoret-coretnya dengan kata-kata konyol
tentang perasaanku. Kulipat kertas itu
menjadi lebih kecil dari ukuran aslinya. Aku suka Kei. Temanku yang paling
dekat, kurasa. Sudah lama ku sadari perasaan ini. Tapi bagaimana mungkin
seseorang yang hanya bisa melipat kertas mengungkapkan itu semua. Mengungkapkan
setiap detak jantung yang tak berirama. Aku hanya teman yang begitu pemalu, tak
pantas tuk bilang suka. Lipatankertas itu kusimpan di dalam toples bersama
lipatan kertas lainnya.
Keesokan
harinya didalam kelasku, aku melihat Kyo. Perempuan cantik yang sedang bercanda
bersama kelompok kecilnya. Entah sejak kapan sosoknya begitu menghantui otakku.
Mungkin sejak Kei bilang bahwa ia menyukai sosok ratu seperti Kyo. Ku kira, aku
cemburu. Hei… aku berperan sebagai teman saat ini. Teman seharusnyamembantu,
itu yang kutahu. Rasa suka murahan dalam hatiku tak berati bagi Kei. Aku akan
lebih berarti bila bisa membantunya.
“Kyo” panggilku seraya
menghampiri sosok ratu itu.
“hei Michiko, ada apa?” senyum
lebarnya begitu indah.
“boleh minta nomor handphonemu?
Kurasa teman dekatku menyukaimu” aku tersenyum kecil.
“tentu saja” Kyo terlalu baik.
Tangan
lembutnya mengambil secarik kertas dan menulis deretan angka yang sudah ia
hafal. Memberikannya padaku dengan senyum yang tak lepas dario paras cantiknya.
Aku sedikit membungkuk mewakili kata terimakasih
dan duduk kembali di tempat dudukku. Ku pandangi kertas tersebut sambil
melamun. Ku lipat kertas itu menjadi lebih kecil dari ukuran aslinya. Kulipat
lagi kertas itu. Ku lipat lagi. Kulipat lagi hingga mungkin bisa ku lipat lagi.
Kusimpan lipatannya di skau rok pendeku dan mulai fous pada pelajaran hari ini.
Sepulang
sekolah Kei meungguku seperti hari-hari sebelumnya. Wajahnya memperlihatkan
rasa bahagia yang tak bisa ia sembunyikan. Aku begitu penasaran, ia tak pernah
begitu ceria seperti saat ini.
“Micchan, aku punya kabar baoik!”
katanya beberapa detik setelah aku sampai di dekatnya.
“aku juga punya”
“tadi aku bertemu Kyo” katanya
sambil berjan dan menggiringku jalan di sampinya. “aku mengobrol dengannya, dia
sangat baik. Sangat menyenangkan bertemu dengannya” dia tampak bersemangat.
“wah baguslah. Ternyata ada
peningkatan.” Aku tersenyum lebar, begitu palsu bila ia mengerti.
“haha iya, mungkin semua akan
berjalan lancar sekarang.” Dia mengusap ujung kepalaku namun pandangannya
kearah lain, sekilas ia menatap langit, sekilas ia menatap masa depan
percintaannya yang akan menyenangkan.
“kamu gak mau taiu kabar baik
dariku?” aku mencoba membuatnya penasaran.
“apa itu?”
“kamu pasti akan senang!”
Aku
merogok saku rok pendekku. Mencoba mencari lipatan kertas yang tadi pagi aku
simpan. Ahh… ketemu! Dengan cepat ku keluarkan dan meyimpannya di tangan Kei.
Aku berjalan beberapa langkah mendahuluinya selagi ia sibuk membuka lipatannya.
Aku tak sabar melihat bagaimana reaksinya setelah lihat apa yang tertulis dalam
lipatan itu.
“Micchan, aku gak percaya kamu
dapet nomor handphonenya! Ini beneran nomor Kyo, kan?” tanyanya memastikan
sambil melangkah cepat menyamakan langkahnya dengan langkahku.
“dia sendiri kok yang nulis” aku
tersenyum.
“aaa… makasih ya Micchan.” Dia
merangkulku setengah memeluk. Kebiasaanya bila ia terlalu senang dan tak bisa
mengungkapkannya. Lalu kami berdua berpisah di perempatan yang memisahkan
komplek rumah kami.
Sebenarnya
apa specialnya seorang teman ketika yang kita fikirkan adalah orang yang kita
suka. Ahh… aku tidak boleh seperti itu. Seorang teman seharusnya mengerti.
Kuambil secarik kertas, kutulis keluh kesahkku tentang perasaan konyol terhadap
seorang teman. Kulipat kertas itu. Kulipat lagi. Kulipat lagi hingga sangat
kecil dan tak lagi bisa kulipat. Ku masukkan dalam toples. Toples bening
tempatku menyimpan perasaanku dalam lipatan kertas. Menyakitkan ketika kita
bertahan tuk tidak memiliki. Tersenyum melihat seseorang yang kita suka
memikirkan orang lain. Perasaan ini begitu menyakitkan. Dan tanpa kusadari, aku
menangis.
Hari-hari
selanjutnya penuh dengan cerita Kei tentang ratunya dan bla bla bla… tak semua
aku ingat. Dan aku tak ingin mengingatnya. Semakin kudengar cerita tentang Kyo
semakin terasa menyakitan. Teman seharusnya saling mendukung. Walau perasaan
ini, rasa suka dan cinta ini harus aku lipat dalam hati. Membiarkannya tetap
terlipat dan menjaganya agar tidak terbuka.
“Micchan” panggil Kei.
“apa?”
“besok aku akan mengungkapkan
perasaanku, rasa suka ini sudah tak tertahankan” Kei berkata padaku dengan
wajah yang penuh keceriaan. Ahh Kei akku sebagai teman selalu bahagia bila kau
bahagia.
“aku selalu mendukungmu.” Senyum
palsu itu kembali menghiasi wajahku.
“besok datang ke O’Cafè dan lihat
apa yang akan terjadi, percayalah ini akan jadi hari yang menyenangkan” dia
tampak sangat bersemangat.
Aku
tidak menjawabnya. Dia mengsap epalaku dengan tangan hangatnya. Sungguh nyaman
dan menyakitkan. Senyumnya sungguh manis dan menyakitkan. Kini melihat Kei
sangat menyakitkan. Pria itu melangkah pergi, dan aku hanya dapat
melihatnyatanpa mampu melakukan apapun. Aku menahan tangis sambil melipat
brosur yang tanpa sadar aku pungut dijalan. Tapi pada akhirnya aku menagis
juga.
Keesokan
harinya aku sudah duduk manis disalah satu kursi O’Cafè. Dari jauh au sudah
memperhatikan Kei yang duduk tegang dikursi lain di ujung sana.Kei
memperhatikanku dari jauh. Tatapannya cemas, dia tak tampak ceria. Aku
tersenyum padanya. Mencoba memberi semangat meski aku tak tahu itu berguna atau
tidak. Namun Kei tetap tak tersenyum dan tetap menatapku. Bahkan hingga Kyo
datang dan duduk bersamanya. Aku tersenyum miris melihat keduanya.
Aku
mengambil secarik kertas dari buku catatan kecilku dan kutulis semua
perasaanku. Aku menyukai Kei, sungguh aku menyukainya. Bukan hanya tertarik,
tapi juga menyayangi dan mencintainya. Kata orang teman itu tak pantas memiliki
perasaan seperti ini. Lalu apalah arti teman sebenarnya, ketika perannya begitu
menyakitkan. Aku benci hanya menjadi teman untuk orang yang kucintai. Aku tahu
ini salah, namun rasanya terlalu memuakkan, dan aku menangis. Untu kesekian
kalinya aku menangis untuk Kei. Aku melihat kearah Kei dengan air mata yang
belum sempat ke seka. Kei melihatku, oh tidak… dia tidak boleh melihatku
seperti ini. Aku berlari keluar Cafè. Dengan kertas penuh peraaan yang terus
kulipat menjadi kecil, kecil, dan lebih kecil lagi. Aku tidak kuat menahannya,
bukannya aku tidak suka melihat Kei bahagia. Tapi ini sungguh menyakitkan.
Ku toleh kebelakang…
Kei mengejarku, langkahnya yang
cepat hampir menyusulku.
Tak
ada gunanya lagi aku berlari. Aku menghentikan langkahku dan kutatap wajahnya.
Dia tidak tampak baik-baik saja, begitu pula aku. Aku tersenyum pada Kei
disela-sela tangisanku.
“Kyo menolakku” katanya dengan
senyum yang dibuat-buat.
“begitu ya” jawabku pelan.
“anehnya aku tidak merasa ini
akhir dari segalanya, yah mungkin setidaknya aku masih memilikimu”
Aku tersenyum pada Kei dan
berjalan menghampirinya. Ku berikan lipatan kertas yang sejak tadi kupegang.
Dia menatapku bingung namun tak menola kertas yang tadi ku berikan. Dia membuka
lipatannya dan membacanya.
Kei entah sejak kapan aku menyukaimu
Bahkan bila saat ini kau memilih orang lain, aku tetap menyukaimu
Bahkan bila saat ini waktutak memilih kita tuk bersama, aku tetap
menyukaimu
Mungkin saat ini tak mungkin bagi kita tuk bersama, tapi masa depan
siapa yang tahu
“miccah aku gak tahu kalau kamu—“
“Kei” aku memotong kata-katanya.
“aku hanya menyukaimu, gak amsalah kamu mau suka aku atau enggak. Aku hanya
ingin mengungkapkannya karna bila ditahan rasanya sakit.” Aku tersenyum lega.
Dan sungguh tulus.
Kei
ikut tersenyum padaku. Dia merangkulku dan mengacak-acak rambutku. Aku
membalasmya dengan memukul-mukul dia pelas. Kami tertawa bersama, terus seperti
itu hingga kita pulang dan makan alam bersama. Kehidupanku kami kembali seperti
semula. Dari Kei aku belajar menyukai, cemburu dan ikhlas tuk tidak memaksakan
sesuatu. Aku senang dengan keadaanku seperti ini. Teman mungkin seharusnya
tempat tuk berbagi banyak hal. Tempan tempat belajar banyak hal. Aku sadar itu,
aku belajar itu semua.
Tamat
By: Camelia Athena
Kharin (Rin-chan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar